Part 20 Titip

Arif menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. “Riris, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku merasa sangat nyaman ada di dekatmu. Kamu membuatku merasa bahagia. Aku—”

Saat Arif hendak melanjutkan, ponsel Riris berdering. Dia mengerutkan kening, melihat nama Fadil tertera di layar. 

Part 20 titip

“Bentar, yah. Ada yang nelfon,”

Tanpa ragu, Riris mengangkat telepon. “Halo, Dil?”

“Halo, Ris. Gimana kabar kamu?” tanya Fadil dari seberang sana.

 “Baik, dong. Aku lagi sama temen nih,” jawab Riris antusias.

Arif terdiam, kecewa melihat Riris mengabaikannya. Dia menunduk, memainkan rumput di taman dengan jari-jarinya. Riris, tanpa menyadari perasaan Arif, asyik berbincang dengan Fadil di sebelahnya. Suara tawa Fadil terdengar samar-samar, membuat Arif semakin merasa kecil hati.

Riris menutup telepon setelah beberapa menit. “Maaf, Arif. Temenku nelepon. Dia cerita tentang pelatihannya.”

“Nggak apa-apa,” jawab Arif, berusaha tersenyum. 

“Tadi kamu mau ngomong apa?” tanya Riris penasaran.

Arif menggeleng, matanya masih tertuju pada ponsel Riris. "Ah, nggak penting. Hanya hal sepele."

Riris mengangguk. “Oke kalau gitu.” 

Arif tahu bahwa Riris masih terikat dengan Fadil. Dia merasa seperti orang asing, hanya selingan sementara dalam hidup Riris. “Baiklah, kalau begitu, ayo kita pulang, Ris.”

“Kamu duluan aja, aku masih mau di sini,” jawab Riris. Dia memang senang menikmati sore di taman.

Arif mengangguk, masih ada kekecewaan yang dia dengar dari percakapan Riris dengan Fadil. “Sampai ketemu lagi, Ris.”

Arif beranjak pergi, meninggalkan Riris yang masih berada di tempat duduk. Dia merasa sedih dan kecewa. Dia tahu bahwa Riris belum siap untuk membuka hatinya untuk orang baru. Dia hanya berharap, suatu saat nanti, Riris akan melihatnya dengan mata yang berbeda. 

Saat Arif berjalan menjauh, dia merasa hampa. Dia tahu Riris masih terikat dengan Fadil, sahabatnya dan butuh waktu untuk membuka hatinya lagi setelah pengkhianatan yang Dani lakukan. Namun, di dalam dirinya, dia masih berharap bisa menjadi bagian dari hidup Riris, meskipun hanya sebagai teman.

Riris memandangi Arif yang pergi, ada rasa penyesalan yang menggelayuti hatinya. Dia ingin mendengarkan apa yang ingin Arif katakan. Dia berharap bahwa suatu hari, dia bisa menemukan keseimbangan antara dua sosok yang penting dalam hidupnya.

Riris masih duduk di bangku taman, melamun dengan pikiran yang tidak menentu. Hatinya terasa campur aduk, antara rasa kesepian dan harapan yang terus bergejolak. Dia masih teringat percakapan dengan Arif yang tidak berjalan sesuai harapan. Dalam lamunannya, dia tidak menyadari waktu berlalu dengan cepat.

Tiba-tiba, suara yang akrab terdengar di belakangnya. “Hai, Ris!”

Riris menoleh dan terkejut melihat Fadil berdiri di sampingnya dengan senyuman lebar. Dia memegang buket bunga berwarna cerah dan satu wadah es krim kesukaan Riris. “Aku kembali!” katanya dengan semangat.

“Fadil!” Riris melompat berdiri, matanya berbinar melihat kejutan itu. “Kamu kembali! Kupikir betah di sana karena udah dapet temen baru.”

Fadil melangkah maju dan menyerahkan bunga itu kepada Riris. “Aku tahu kamu suka bunga ini. Dan ini es krim kesukaanmu. Aku harap ini bisa membuat harimu lebih baik,” ujarnya sambil tersenyum.

Riris menerima bunga dan es krim dengan hati yang bergetar. “Terima kasih, Fadil. Kamu tahu persis apa yang aku butuhkan,” katanya, merasa hangat di dalam hati.

Mereka berdua duduk di bangku taman, Riris membuka wadah es krim dan mulai menyendoknya. “Kamu nggak tahu, aku tuh kesepian pas nggak ada kamu di sini,” ungkap Riris, sambil menikmati es krimnya.

Fadil menatap Riris dengan penuh perhatian. “Katamu tadi lagi sama temen, mana temenmu?” katanya dengan lembut.

Riris mengangguk, merasakan ketenangan yang mengalir dalam dirinya. “Dia pulang.”

“Lah, pulang? Ya udah,” jawab Fadil.

Setengah jam berlalu, Riris dan Fadil asyik berbincang dan tertawa, mengenang momen-momen lucu selama Fadil di luar kota. Riris merasa beban di hatinya sedikit terangkat, dan dia mulai merasakan kebahagiaan yang lama hilang. 

Namun, kebahagiaan itu terusik ketika Fadil berkata, "Ris, aku cuma sehari di sini. Besok pagi aku harus balik lagi."

Riris mengerutkan kening. "Sehari? Cepet banget, Dil. Kupikir kamu pulang udah nggak ke sana lagi?" 

Fadil tersenyum. "Aku pulang karena pengen ketemu ibu, Ris. Nggak bisa lama-lama. Tapi tenang, aku bakal balik lagi kok." 

Riris mengangguk, meskipun hatinya sedikit kecewa. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana sore yang mulai meredup. Tiba-tiba, Arif muncul di ujung jalan setapak, berjalan dengan langkah gontai. Riris mengerutkan kening, memperhatikan Arif yang terlihat canggung. 

“Hai, Ris,” sapa Arif, suaranya terdengar sedikit gugup. 

"Eh, Rif. Kamu balik lagi?" tanya Riris, matanya beralih ke Fadil yang juga menatap Arif dengan sedikit rasa penasaran. 

"Iya, aku lupa topiku ketinggalan. Jadi aku balik lagi, tuh," jawab Arif, tangannya menunjuk ke topinya yang ada di sebelah Riris tadi.

"Oh iya, Rif. Kenalin ini temenku, Fadil. Dil ini Arif yang tadi nemenin aku di sini," kata Riris memperkenalkan mereka satu sama lain.

Fadil berdiri dan mereka berjabat tangan kemudian memberikan topi berwarna putih itu. "Oh ini topimu ya, Rif?” 

“Iya, Dil. Salam kenal ya,” kata Fadil.

"Salam kenal juga," jawab Arif dengan senyum yang jelas sekali dipaksakan. "Oh iya, aku harus pulang ya, kalian have fun."

"Tunggu dulu, Rif," Fadil menahan Arif. "Aku mau ngomong sama kamu." Fadil menarik Arif ke pinggir, berbisik pelan. "Rif, aku mau minta tolong. Jagain Ris selama aku nggak ada. Dia lagi butuh temen." 

Arif terdiam, matanya beralih ke Riris yang menatapnya dengan wajah yang sulit diartikan. "Ya, aku akan jagain Dil," jawab Arif, suaranya terdengar sedikit ragu. 

Fadil tersenyum. "Oke, makasih ya, Rif. Aku percaya kamu bisa jaga Riris." Fadil berpamitan pada Riris dan Arif, lalu beranjak pergi. 

"Aku nggak bisa lama-lama di sini, aku harus balik, sampai jumpa bulan depan ya, Ris," kata Fadil yang hanya mendapatkan anggukan dari Riris.

Riris menatap Fadil yang pergi, hatinya terasa kosong. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Arif masih berdiri di sampingnya, matanya tertuju pada Fadil yang menjauh. 

"Kamu masih mau di sini apa pulang?" kata Arif, suaranya terdengar datar. 

"Di sini dulu," jawab Riris. "Kamu pulang duluan ga apa-apa?" 

"Udah mau Magrib, aku antar kamu pulang ya," jawab Arif, matanya masih tertuju pada Fadil yang sudah menghilang di ujung jalan. 

"Kamu nggak mau ngobrol dulu?" tanya Riris, suaranya terdengar sedikit gemetar. 

Arif menggeleng. "Kita ngobrol di rumahmu ya." 

Riris mengangguk dan mereka pulang ke rumah Riris dengan berjalan kaki, mereka terlihat canggung dan tidak berkata apa pun.

Arif tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia merasa seperti terjebak di antara situasi yang rumit.


SepwaL Suka Mempelajari hal baru, Menulis, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Dunia Teknologi

Belum ada Komentar untuk " Part 20 Titip"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel