Part 19 Orang Baru
Setelah berlibur di pantai, kondisi Riris mulai sedikit membaik. Meskipun masih suka melamun dan terkadang bersikap sinis kepada orang lain, dia mulai menemukan sedikit kedamaian. Dukungan dari Fadil dan keluarganya benar-benar membantu Riris dalam proses penyembuhan emosinya.
Ketika tahun ajaran baru dimulai, Riris memutuskan untuk kembali ke sekolah dan mengajar lagi. Ia merasa bahwa kembali ke rutinitas dan bertemu dengan anak-anak didiknya mungkin bisa membantunya menemukan kebahagiaan yang hilang.
Hari pertama Riris kembali mengajar, ia merasa sedikit cemas namun juga bersemangat. Ketika memasuki kelas, ia disambut dengan senyuman dan keceriaan dari anak-anak didiknya. Mereka tampak senang melihat Riris kembali.
“Selamat pagi, Bu Riris!” sapa salah satu murid dengan antusias.
“Selamat pagi, anak-anak. Senang bisa kembali bersama kalian,” jawab Riris dengan senyum tipis.
Selama proses belajar mengajar, Riris merasakan kehangatan dan keceriaan yang dibawa oleh anak-anak didiknya. Mereka sering membuatnya tertawa dengan celotehan lucu dan kepolosan mereka. Sedikit demi sedikit, Riris mulai merasa terhibur oleh kehadiran mereka.
Seiring berjalannya waktu, Riris menyadari bahwa berada di sekitar anak-anak ini memberikan kekuatan baru baginya. Meski masih ada momen-momen ketika ia merasa sedih atau melamun, kehadiran anak-anak ini memberikan cahaya di tengah kegelapannya.
Di sela-sela kegiatan belajar mengajar, Riris juga menemukan cara untuk berinteraksi lebih baik dengan rekan-rekannya di sekolah. Meskipun awalnya bersikap sinis, perlahan-lahan ia mulai membuka diri dan kembali bersosialisasi.
Melihat perubahan positif pada diri Riris, Fadil merasa senang.
Meskipun kondisi Riris sedikit membaik setelah berlibur dan kembali mengajar, ia masih menunjukkan sikap sinis kepada banyak orang di sekitarnya, kecuali kepada Fadil dan murid-muridnya. Dengan mereka, ia bisa bersikap ramah dan hangat, namun kepada rekan kerja dan orang lain, ia sering terlihat dingin dan tertutup.
Namun, saat berinteraksi dengan rekan kerjanya, Riris sulit menahan rasa sinis dan ketidakpercayaannya. Pengalaman pahit dengan Dani membuatnya sulit membuka diri kepada orang lain. Setiap kali ada yang mencoba mendekatinya, Riris sering merespons dengan sikap dingin dan menjaga jarak.
Rekan-rekannya di sekolah memahami situasi yang dihadapi Riris dan berusaha untuk tidak mengambil hati sikapnya. Mereka tahu bahwa Riris masih dalam proses penyembuhan dan membutuhkan waktu untuk kembali seperti sedia kala.
Setelah beberapa minggu mengajar, Riris mulai merasa kesepian lagi. Fadil, yang selalu ada di sisinya, kini harus pergi untuk pelatihan di kota lain selama tiga bulan. Kepergian Fadil meninggalkan kekosongan yang sulit diisi.
Di hari keberangkatan Fadil, Riris mengantarnya ke stasiun. Mereka berdiri di peron, menunggu kereta yang akan membawa Fadil pergi. Riris berusaha menahan air mata, sementara Fadil mencoba menenangkan hatinya.
“Riris, aku tahu ini akan sulit, tapi aku akan selalu ada untukmu, meskipun dari jauh,” kata Fadil dengan suara lembut.
Riris mengangguk pelan. “Aku tahu, Fadil. Aku hanya merasa kesepian tanpa kamu di sini.”
Fadil memeluk Riris erat. “Kita akan sering berkomunikasi. Aku akan meneleponmu setiap hari dan kita bisa video call. Kamu tidak sendirian.”
Kereta tiba, dan Fadil harus naik. “Jaga dirimu baik-baik, Riris. Aku akan segera kembali,” katanya sebelum naik ke kereta.
Riris melambaikan tangan, menahan air mata yang akhirnya mengalir. “Hati-hati, Dil.”
Setelah kepergian Fadil, Riris kembali ke rutinitas mengajarnya. Meskipun murid-muridnya memberikan sedikit kebahagiaan, rasa kesepian tetap menghantui. Setiap kali dia pulang ke rumah, dia merasakan kekosongan yang mendalam.
Riris berusaha mengisi waktu luangnya dengan berbagai kegiatan, seperti membaca buku, menonton film, dan berjalan-jalan di taman.
Di sekolah, Riris tetap bersikap ramah kepada murid-muridnya, tetapi sikap sinisnya terhadap rekan kerja dan orang lain semakin terlihat. Dia merasa sulit untuk membuka diri dan mempercayai orang lain setelah pengalaman pahit dengan Dani.
Meskipun begitu, Riris tahu bahwa dia harus kuat. Dia berusaha menjalani hari-harinya dengan sebaik mungkin, menunggu waktu berlalu hingga Fadil kembali.
Seiring berjalannya waktu, Fadil semakin sibuk dengan kegiatan pelatihan di kota lain, membuat Riris merasa semakin kesepian di rumah. Hari-harinya terasa hampa tanpa teman untuk berbagi cerita dan dukungan yang biasanya dia dapatkan dari Fadil.
Melihat kondisi putrinya yang semakin murung, Prasetyo merasa khawatir dan memutuskan untuk melakukan sesuatu. Suatu hari, saat makan malam bersama Riris, Prasetyo memulai percakapan.
“Riris, Ayah sudah lama melihat kamu merasa kesepian. Ayah ingin kamu bertemu dengan anak teman Ayah. Namanya Arif, dia sangat baik dan ramah. Mungkin kalian bisa kenalan,” kata Prasetyo dengan nada penuh harap.
Riris menatap ayahnya sejenak, merasa ragu. “Ayah, aku tidak tahu apakah aku siap untuk bertemu orang baru. Aku masih merasa kesepian dan sulit untuk percaya pada orang lain.”
Prasetyo mengangguk, memahami perasaan putrinya. “Ayah mengerti, Nak. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Arif bukan orang asing bagiku, dia anak teman lama Ayah yang Ayah sangat percaya. Siapa tahu, mengenal orang baru bisa membantu kamu merasa lebih baik.”
Riris berpikir sejenak, mencoba membuka hatinya untuk kemungkinan baru. “Baiklah, Ayah. Aku akan mencobanya. Tapi tolong jangan berharap terlalu banyak.”
Prasetyo tersenyum lembut. “Tidak ada tekanan, Nak. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Beberapa hari kemudian, Prasetyo mengatur pertemuan antara Riris dan Arif di sebuah kafe yang nyaman. Riris datang dengan perasaan campur aduk, antara ragu dan penasaran.
Saat tiba di kafe, dia melihat seorang pria muda dengan senyuman ramah di wajahnya. Pria itu berdiri dan menyapa Riris dengan hangat. “Hai, kamu pasti Riris. Aku Arif. Senang bisa bertemu denganmu.”
Riris membalas senyum Arif, merasa sedikit lega dengan keramahannya. “Hai, Arif. Senang bertemu denganmu juga.”
Mereka duduk dan mulai berbincang, perlahan-lahan mengenal satu sama lain. Arif adalah sosok yang ramah dan perhatian, membuat Riris merasa lebih nyaman. Meskipun masih ada rasa ragu di hatinya, Riris mulai merasa bahwa mungkin ada harapan untuk menemukan teman baru di tengah kesepiannya.
Seiring berjalannya waktu, Arif semakin merasa tertarik dengan Riris. Setiap kali mereka bertemu, dia selalu berusaha untuk membuat Riris merasa nyaman dan bahagia. Keramahan dan perhatian Arif perlahan-lahan membuat Riris merasa lebih terbuka dan mulai menikmati kebersamaannya.
Mereka sering menghabiskan waktu bersama di kafe, berjalan-jalan di taman, atau sekadar berbincang di tempat favorit mereka. Arif selalu mendengarkan dengan seksama ketika Riris berbicara, memberikan dukungan dan kata-kata penghiburan setiap kali Riris merasa sedih.
Suatu hari, mereka duduk di bangku taman, menikmati suasana yang tenang dan damai. Arif melihat Riris tersenyum tipis, sesuatu yang jarang dia lihat akhir-akhir ini.
“Riris, aku senang melihatmu tersenyum,” kata Arif dengan lembut. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”
Belum ada Komentar untuk " Part 19 Orang Baru"
Posting Komentar