Part 15 Rencana Penyelamatan
Ketika tiba di sana, ia terkejut melihat banyak orang yang berkumpul di sana. Rumah itu penuh dengan kerabat dan tetangga yang datang.
Fadil merasa jantungnya berdebar kencang. Dia berusaha
mencari tahu apa yang terjadi. Saat itulah Dimas, anak Haris, mendekatinya.
“Dimas, apa yang terjadi?” tanya Fadil dengan wajah penuh
kekhawatiran.
Dimas menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya.
“Ayah baru saja meninggal sekitar dua jam lalu. Sebelum meninggal, beliau
menitipkan pesan penting untuk Kak Fadil dan Kak Riris. Beliau bilang, kalian
harus lebih waspada dan segera pergi dari Makassar sebelum musuh Ayah dan Pak
Hadi tahu. Itu wasiat terakhir beliau.”
Fadil merasa hatinya semakin berat. “Terima kasih, Dimas.
Kami akan segera kembali ke rumah sakit dan mengatur semuanya.”
Dimas mengangguk. “Hati-hati, Kak. Musuh mereka tidak
main-main. Ayah sangat khawatir tentang keselamatan kalian.”
Fadil kembali ke rumah sakit dengan langkah berat.
Sesampainya di sana, ia mendapati Riris sedang duduk di samping tempat tidur
ayahnya. Fadil mendekati mereka dengan hati-hati
“Riris, aku harus memberitahumu sesuatu,” kata Fadil dengan
suara pelan.
Riris menatap Fadil dengan cemas. “Apa itu, Dil?”
Fadil menghela napas panjang sebelum berbicara. “Aku tadi
pergi ke rumah Pak Haris, dan aku menemukan banyak orang yang melayat. Pak
Haris baru saja meninggal sekitar dua jam lalu.”
Riris terkejut dan air matanya mulai mengalir. “Ya Allah,
Paman Haris…”
“Anaknya, Dimas, memberi pesan terakhir dari Pak Haris. Dia
bilang kita harus lebih waspada dan segera pergi dari Makassar sebelum musuh
mereka tahu. Itu wasiat terakhirnya,” lanjut Fadil.
Hadi yang mendengar itu, merasa semakin lemah, tapi dia
berusaha untuk tetap kuat. “Kalian harus segera pergi. Jangan biarkan diri
kalian terjebak dalam bahaya.”
Riris menggenggam tangan ayahnya dengan erat. “Kami akan
segera pergi, Ayah. Tapi aku ingin memastikan Ayah mendapatkan perawatan
terbaik dulu.”
Fadil mengangguk setuju. “Kita akan atur semuanya secepat
mungkin. Kita harus segera berangkat.”
Saat mereka sedang berdiskusi tentang rencana keberangkatan,
ponsel Riris berbunyi. Dani, tunangannya, menelepon. Riris menjawab panggilan
dengan cepat.
“Assalamualaikum, Sayang,” kata Riris.
“Waalaikumsalam. Kamu di mana sekarang? Aku ingin
mengirimkan bodyguard untukmu. Aku khawatir dengan situasimu,” kata Dani dengan
nada tegas.
Riris merasa ragu. “Aku baik-baik saja, Dani. Kamu tidak
perlu khawatir.”
“Tolong, Riris. Aku ingin memastikan kamu aman. Kasih tahu
aku di mana lokasi kamu sekarang,” desak Dani.
Riris masih bimbang, tetapi Fadil yang berada di sampingnya
memberikan isyarat agar dia memberitahu lokasi mereka. “Beritahu dia, Ris.
Lebih baik kita berjaga-jaga,” bisik Fadil.
Setelah berpikir sejenak, Riris mengangguk dan memberi tahu
Dani lokasi rumah sakit tempat mereka berada. “Baiklah. Aku di Rumah Sakit
Mitra Sehat. Ruangan VVIP,” kata Riris.
“Terima kasih, Sayang. Aku akan segera mengirimkan bodyguard
untukmu. Tolong jaga dirimu baik-baik dan jangan terlalu dekat dengan Fadil,”
kata Dani.
“Iya, aku tau. Terima kasih, Dani,” jawab Riris.
Setelah menutup telepon, Riris menatap Fadil dengan penuh
syukur. “Thanks, Dil. Mungkin emang mending gini.”
Fadil tersenyum. “Nggak masalah, Ris. Yang penting kita
tetap waspada dan aman.”
Mereka melanjutkan diskusi mereka dengan hati-hati, menunggu
kedatangan bodyguard yang akan dikirim oleh Dani.
Setelah menutup telepon dengan Dani, Riris memutuskan untuk
mengabari ayah angkatnya, Prasetyo, tentang semua hal yang terjadi di rumah
sakit serta tentang kematian Haris. Dengan hati yang masih berat, ia mengambil
ponselnya dan menelepon Prasetyo.
“Assalamualaikum, Ayah,” kata Riris dengan suara pelan.
“Waalaikumsalam, Riris. Ada apa? Bagaimana keadaan di sana?”
tanya Prasetyo dengan cemas.
“Ayah, ada sesuatu yang harus aku sampaikan,” kata Riris
sambil menarik napas dalam-dalam.
“Pak Haris baru saja meninggal beberapa jam lalu. Beliau
meninggalkan pesan terakhir untuk kita agar lebih waspada dan segera pergi dari
Makassar sebelum musuh mereka tahu,” jelas Riris.
Prasetyo terkejut mendengar kabar itu. “Innalillahi wa inna
ilaihi raji'un. Semoga beliau diterima di sisi-Nya. Bagaimana dengan kondisi
Hadi?”
“Beliau masih mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.
Kondisinya masih lemah,” jelas Riris.
Prasetyo menghela napas. “Nak, kamu harus segera pulang ke
Jakarta. Jangan ambil risiko lebih lama di sana. Ayah akan mengatur semuanya.”
“Ayah, aku ingin pulang dengan penerbangan pagi hari besok.
Tapi aku juga ingin memastikan Ayah mendapatkan perawatan terbaik,” kata Riris.
Prasetyo tegas. “Jangan, Ris! Kamu tidak boleh mengambil
penerbangan komersial. Ayah akan mengirim jet pribadi untuk menjemput kalian.
Hadi juga harus dibawa ke Jakarta. Ayah tidak tega jika beliau harus ditinggal
sendirian.”
Riris merasa lega mendengar keputusan ayah angkatnya.
“Terima kasih, Ayah. Kami akan menunggu di sini.”
“Iya, Ris. Ayah akan mengatur semuanya dan segera memberi
kabar. Jaga dirimu dan Hadi baik-baik,” kata Prasetyo.
"Iya, Ayah. Terima kasih," jawab Riris sebelum
menutup panggilan.
Setelah itu, Riris kembali ke ruangan tempat Hadi dirawat
dan memberi tahu Fadil tentang rencana Prasetyo. Fadil setuju dengan keputusan
itu dan mereka mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatan mereka
ke Jakarta dengan jet pribadi yang akan dikirim.
Sejam kemudian, dua bodyguard yang diutus oleh Dani tiba di
rumah sakit. Mereka terlihat waspada dan segera mencari Riris dan Fadil. Begitu
mereka menemukan keduanya, ekspresi marah tampak jelas di wajah mereka.
“Kenapa Fadil selalu ada bersama Nona Riris?” kata salah
satu bodyguard berkata dengan nada tajam.
Sebelum Fadil bisa menjawab, Riris langsung berdiri dan
membentak kedua bodyguard itu. “Dengar, kalian di sini untuk melindungi kami,
bukan untuk mengatur siapa yang boleh bersamaku atau tidak. Fadil adalah
sahabatku dan dia sudah banyak membantu. Jangan pernah meragukan kehadirannya.”
Kedua bodyguard itu terkejut mendengar nada tegas Riris.
“Maaf, Nona Riris. Kami hanya menjalankan tugas dari Tuan Dani,” kata salah
satu bodyguard dengan nada lebih tenang.
“Tugas kalian adalah memastikan kami aman, bukan mencampuri
urusan kami,” lanjut Riris dengan suara tegas. “Jika kalian tidak bisa
menghormati itu, lebih baik kalian pergi, karena di sini hanya aku yang boleh
memerintah.”
Fadil menatap Riris dengan kagum, merasa lega bahwa Riris
mengambil kendali atas situasi tersebut. “Kita semua di sini untuk tujuan yang
sama, menjaga keamanan dan kesehatan Paman Hadi,” kata Fadil dengan suara
tenang. “Jadi kita harus fokus pada hal itu.”
Kedua bodyguard akhirnya mengangguk, tampak lebih tenang.
“Baik, Nona Riris. Kami akan patuh pada perintah Anda,” kata mereka berdua.
Riris sambil napas. “Sekarang kita semua harus tetap waspada
dan bekerja sama.”
“Jadi apa langkah kita berikutnya?”
Posting Komentar