Part 13 Benarkah Dia Orangnya?
Riris merasa matanya mulai berkaca-kaca. “Saya Riris, apa Anda kenal dengan beliau?” Riris berkata sembari memberikan foto pada lelaki itu.
Pria bernama Haris terkejut melihat foto itu. “Masuklah, dia ada di sini, tapi kondisinya sedang sakit parah.”
Riris dan Fadil memasuki rumah dengan hati-hati. Mereka menemukan seorang pria tua terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya yang tua tampak lelah, tetapi matanya berbinar saat melihat Riris yang jelas sekali serupa dengan ibunya dulu, jadi dengan mudah pria itu mengenali.
Riris segera mendekat, menggenggam tangan pria itu dengan erat. “Apa kamu benar-benar ayahku?”
Hadi mengangguk lemah. "Kamu sangat mirip dengan mendiang ibumu. Maafkan Ayah karena meninggalkanmu.”
Fadil memberikan ruang bagi Riris dan ayahnya untuk berbicara Haris pun memberitahukan anaknya untuk membuat suguhan untuk Riris dan Fadil.
Riris mulai menceritakan semua yang telah terjadi dan petunjuk-petunjuk yang mereka temukan. Hadi mengangguk, menunjukkan beberapa dokumen yang disimpannya sebagai bukti.
“Kamu selain cantik juga cerdas seperti ibumu,” kata Hadi lagi.
“Apakah ibu sangat cantik?” tanya Riris penasaran.
“Jika kamu melihat cermin, seperti itulah wajah ibumu.”
Riris langsung menangis mendengar hal itu, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi karena hal itu dan Hadi hanya bisa menatap sang putri dengan lemas.
Setelah Riris terlihat sedikit lebih tenang, Hadi bertanya, “Siapa lelaki yang bersamamu itu? Apakah dia calon suamimu?”
“Bukan, Ayah. Dia sahabatku, namanya Fadil. Aku punya calon suami tapi dia sibuk di kantornya. Nanti aku akan meneleponnya,” jawab Riris masih dengan sedikit terisak.
“Em … baiklah. Ayah paham.”
Malam itu, setelah berbicara cukup lama dengan ayahnya, Fadil mengajak Riris keluar sebentar untuk membeli beberapa keperluan di minimarket. Saat berjalan menuju minimarket, Fadil membuka pembicaraan.
“Riris, aku tahu ini sangat berarti buatmu. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku,” kata Fadil dengan hati-hati.
“Apa maksudmu, Dil?” tanya Riris dengan sedikit kaget.
“Maaf kalau ini terdengar kurang baik. Tapi aku merasa kita perlu memastikan kebenaran tentang identitas ayahmu. Mungkin kita perlu melakukan tes DNA agar lebih meyakinkan,” ujar Fadil dengan serius.
Riris mengernyitkan kening, merasa terganggu dengan saran itu. “Kamu meragukan ayahku? Dia sudah menunjukkan dokumen dan foto-foto yang cukup jelas. Apa kamu nggak percaya padaku?”
“Bukan begitu, Ris. Aku hanya ingin memastikan semuanya. Aku juga ingin kamu yakin sepenuhnya. Kita juga bisa membawa Pak Hadi ke Jakarta untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ini bukan soal kepercayaan, tapi soal kepastian dan kesehatan,” kata Fadil dengan lembut.
Riris terdiam sejenak, merasakan perasaan marah bercampur rasa sayang terhadap sahabatnya. “Aku paham kekhawatiranmu, tapi aku nggak suka kamu meragukan ayahku.”
Fadil menatap Riris dengan penuh perhatian. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk kalian. Aku tahu ini berat, tapi kita harus berpikir rasional.”
Setelah berdiam beberapa saat, akhirnya Riris menarik napas panjang. “Baiklah, Dil. Aku akan mempertimbangkan saranmu. Kita akan bawa Ayah ke Jakarta dan melakukan tes DNA. Tapi tolong, jangan pernah meragukan perasaanku.”
Fadil tersenyum lega. “Terima kasih, Ris. Aku janji akan selalu mendukungmu.”
Malam itu, Riris dan Fadil menginap di rumah Haris. Mereka merasakan perasaan campur aduk, antara lega karena menemukan ayah Riris dan kekhawatiran tentang kebenaran identitasnya.
Pagi harinya, Riris dan Fadil duduk bersama Haris dan Hadi di ruang tamu. Riris memulai pembicaraan dengan hati-hati. “Ayah, Paman Haris, kami sudah memikirkan ini dengan matang. Kami ingin membawa Ayah ke Jakarta untuk mendapatkan pengobatan yang lebih intensif.”
Hadi menatap Riris dengan wajah lelah namun penuh kasih. “Nak, Ayah menghargai perhatianmu. Tapi Ayah merasa sudah terlalu tua untuk perjalanan jauh seperti itu.”
Fadil mencoba menjelaskan lebih lanjut. “Pak Hadi, di Jakarta kami bisa mendapatkan perawatan medis terbaik untuk kondisi Anda. Kami hanya ingin memastikan bahwa Anda mendapatkan pengobatan yang Anda butuhkan.”
Haris menggelengkan kepala. “Maaf, tapi tetap tidak bisa. Ada sesuatu yang harus dirahasiakan dan tidak boleh ada yang tahu, termasuk kamu, Riris.”
Riris terkejut dan merasa kecewa. “Apa maksud Paman? Kenapa harus dirahasiakan?”
“Ada banyak hal yang kamu belum tahu, Nak. Jika kami pergi ke Jakarta, kami bisa membahayakan banyak pihak,” jawab Haris dengan tegas.
Fadil menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Pak Haris, kami hanya ingin membantu. Apa pun yang terjadi, kami akan merahasiakan semuanya.”
Hadi mencoba berbicara lagi. “Riris, Ayah tahu kamu ingin yang terbaik, tapi kondisi Ayah sudah tidak memungkinkan untuk perjalanan panjang.”
“Ini bukan hanya soal perjalanan, Ayah. Ini tentang kesehatan Ayah. Aku ingin Ayah sembuh,” kata Riris dengan nada memohon.
Haris tetap pada pendiriannya. “Kalian tidak mengerti. Ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar pengobatan. Kami tidak bisa mengambil risiko itu.”
Riris merasa semakin frustrasi. “Apa hal besar itu, Paman? Kenapa harus dirahasiakan dari aku?”
Hadi menatap Haris sejenak sebelum berbicara lagi. “Maafkan Ayah, Nak. Ini bukan saatnya untuk mengungkap semuanya. Kamu hanya perlu percaya pada keputusan kami.”
Riris kemudian mencoba alasan lain. “Ayah, selain soal pengobatan, aku juga akan menikah di Jakarta. Aku ingin Ayah bisa hadir di sana. Ini sangat penting bagiku.”
Hadi terdiam sejenak, merasakan beban yang semakin berat. “Nak, Ayah ingin sekali hadir di pernikahanmu. Tapi keadaan tidak memungkinkan.”
Fadil mencoba mencari jalan tengah. “Bagaimana kalau kita tetap melakukan tes DNA di sini untuk memastikan segalanya? Ini penting untuk Riris.”
Hadi dan Haris saling pandang, lalu Hadi mengangguk pelan. “Baiklah, tes DNA bisa kita lakukan di sini. Tapi kami tetap tidak bisa pergi ke Jakarta.”
Riris merasa hatinya berat, tetapi ia setuju dengan saran Fadil. “Baik, Ayah. Kita akan melakukan tes DNA di sini. Aku hanya ingin memastikan semuanya jelas.”
Meskipun perdebatan panjang itu tidak menghasilkan keputusan yang sempurna, setidaknya mereka memiliki langkah konkret untuk memastikan identitas Hadi. Dengan hati yang campur aduk, mereka bersiap untuk menjalani tes DNA dan melanjutkan perjalanan mereka dengan lebih banyak pertanyaan yang perlu dijawab.
“Ayah ingin kamu tahu kebenaran tentang masa lalu kita. Semua ini adalah warisan dan tanggung jawab yang harus kamu jaga,” kata Pak Hadi dengan suara lemah namun tegas.
“Apa itu?”
Posting Komentar