Part 12 Mencari Alamat
Setelah membaca buku harian dan menemukan berbagai petunjuk, Riris merasa kepalanya mulai penuh dengan berbagai pikiran. Melihat ini, Fadil memutuskan bahwa mereka perlu beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pencarian mereka.
“Riris, bagaimana kalau kita istirahat sejenak? Makassar punya banyak tempat indah yang bisa kita nikmati. Mungkin itu bisa membantu menenangkan pikiranmu,” usul Fadil.
Riris menggeleng dengan tegas. “Nggak, Dil. Aku ingin cepat menyelesaikan semua misteri ini dan pulang. Dani pasti sudah khawatir,” jawabnya dengan nada cemas.
Fadil menatap Riris dengan lembut. “Aku paham, Ris. Tapi kamu juga perlu waktu untuk menenangkan pikiran. Jika otakmu terlalu tegang, kita mungkin malah melewatkan petunjuk penting.”
Riris menarik napas panjang, merasakan kegelisahan yang masih menggelayuti pikirannya. “Tapi, waktu terus berjalan, dan aku merasa semakin tertekan.”
Fadil tersenyum, mencoba memberikan pengertian. “Justru karena itu, kita perlu istirahat sejenak. Percayalah, dengan pikiran yang lebih jernih, kita akan lebih mudah menemukan jawaban. Lagipula, Dani pasti ingin kamu tetap sehat dan bahagia.”
Riris terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, Dil. Kamu benar. Mungkin istirahat sejenak bisa membantu.”
Fadil tersenyum lega. “Ayo, kita mulai dengan Pantai Losari. Pemandangan matahari terbenam di sana sangat menenangkan.”
Mereka berdua menuju Pantai Losari, tempat ikonik di Makassar yang terkenal dengan keindahan matahari terbenamnya. Saat matahari mulai tenggelam di cakrawala, langit berubah menjadi gradasi warna jingga dan merah yang memukau. Riris dan Fadil duduk di tepi pantai, merasakan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut.
“Indah sekali, ya,” kata Riris sambil memandangi matahari terbenam.
“Iya, benar. Terkadang kita perlu berhenti sejenak dan menikmati momen-momen seperti ini,” jawab Fadil dengan suara pelan, menatap Riris dengan penuh perhatian.
Setelah menikmati matahari terbenam, Fadil mengajak Riris untuk mengunjungi Benteng Rotterdam. Benteng tua ini tidak hanya menjadi saksi sejarah Makassar, tetapi juga menawarkan pemandangan yang indah dan suasana yang tenang. Mereka berjalan-jalan di sekitar benteng, menikmati arsitektur klasik dan merasakan aura sejarah yang kental.
“Kamu tahu, Fadil, aku merasa sedikit lebih baik sekarang,” kata Riris sambil tersenyum.
“Itu bagus. Aku senang bisa melihat senyummu kembali,” jawab Fadil dengan tulus.
Tidak berhenti di situ, Fadil kemudian mengajak Riris untuk mencicipi kuliner khas Makassar di area MTC Karebosi. Mereka mencoba berbagai hidangan lezat seperti Sop Konro, dan Pisang Ijo. Suasana makan malam yang penuh kehangatan dan kebersamaan membantu Riris untuk lebih rileks.
“Aku sangat menikmati hari ini, Dil. Terima kasih sudah mengajakku ke tempat-tempat indah ini,” kata Riris dengan tulus.
“Aku senang dengernya, Ris. Ingat, kita selalu bisa menghadapi semua ini bersama. Aku akan selalu ada untukmu,” jawab Fadil sambil menatap mata Riris.
Namun, tiba-tiba ponsel Riris berbunyi, melantunkan nada dering yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Itu panggilan dari Dani.
Riris segera mengangkat ponselnya. “Assalamualaikum, Sayang.”
“Waalaikumsalam. Di mana kamu? Kenapa nggak ada kabar sejak siang tadi?” suara Dani terdengar tegas dan penuh kecemasan.
Riris mencoba menenangkan Dani. “Maaf, Sayang. Aku tadi sibuk dengan beberapa hal penting, jadi belum sempet ngabarin.”
“Tapi kamu terus sama Fadil. Aku khawatir dan cemburu. Apalagi bodyguard yang aku utus nggak bareng kalian, nggak tau ke mana.” Dani berkata dengan nada yang sedikit marah.
Riris menarik napas dalam-dalam. “Aku paham, Sayang. Tapi Fadil cuma bantu aku menyelesaikan semua ini. Nggak ada yang perlu kamu khawatirin.”
Dani masih terdengar kesal. “Tetap saja, aku nggak suka kamu terus bersama dia. Aku cuma mau kamu cepat pulang.”
“Kamu cuma nyuruh-nyuruh doang tanpa bantuin, bahkan body guard yang kamu suruh itu mana, nggak tau!” Riris ikut marah karena itu.
“Kok, malah kamu yang jadi marah?” Dani mengeluh.
“Tenang aja makanya. Aku akan cepat menyelesaikan semua ini dan pulang. Aku janji,” kata Riris dengan suara agak ketus pada Dani.
Fadil hanya bisa mendengarkan percakapan itu dengan perasaan campur aduk. Ia mengerti perasaan Dani, tapi di sisi lain, ia juga merasa ada jarak yang semakin sulit dijembatani antara dirinya dan Riris.
Setelah panggilan berakhir, Riris menatap Fadil dengan sedikit rasa bersalah. “Maaf, Fadil. Dani memang agak cemburuan.”
Fadil tersenyum tipis atau lebih tepatnya memaksa tersenyum. “Nggak apa-apa, Ris. Aku ngerti. Yang penting kamu tenang dan kita bisa lanjutkan pencarian ini dengan pikiran yang lebih jernih.”
Mereka melanjutkan makan dengan suasana yang sedikit berubah, tetapi tetap berusaha menikmati malam yang tenang itu.
Setelah hari yang panjang dan penuh kenangan indah, Riris dan Fadil kembali ke hotel untuk beristirahat. Dengan pikiran yang lebih tenang, mereka siap untuk melanjutkan pencarian mereka keesokan harinya, mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah mereka temukan.
Keesokan paginya, setelah sarapan singkat, Riris dan Fadil mulai menyusun rencana untuk mencari alamat-alamat yang ada di buku harian ayah Riris. Mereka berdua siap menghadapi hari yang panjang dan penuh tantangan.
Alamat pertama yang mereka kunjungi adalah sebuah rumah tua di pinggiran kota. Saat mereka tiba, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya. “Maaf, Pak. Apakah ini rumah Pak Hasan?” tanya Riris dengan sopan.
Pria itu menggeleng. “Maaf, Nona. Pak Hasan sudah pindah beberapa tahun lalu. Saya tidak tahu di mana dia sekarang.”
Meskipun merasa sedikit kecewa, Riris dan Fadil berterima kasih dan melanjutkan perjalanan mereka ke alamat berikutnya. Mereka berharap menemukan lebih banyak petunjuk di tempat berikutnya.
Di alamat kedua, mereka menemukan sebuah rumah yang tampak tidak terurus. Seorang wanita tua membuka pintu dan menatap mereka dengan curiga. “Maaf, Bu. Apakah ini rumah Pak Rahmat?” tanya Fadil.
Wanita itu mengangguk lemah. “Saya Bu Siti. Tapi suami saya, Pak Rahmat, sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.”
Riris merasa hatinya semakin berat mendengar kabar tersebut. Mereka berdua menyampaikan rasa belasungkawa dan melanjutkan pencarian mereka.
Hari semakin siang, dan mereka telah mengunjungi beberapa alamat lainnya, tetapi hasilnya tetap sama. Kebanyakan orang yang mereka cari sudah pindah atau meninggal. Riris mulai merasa putus asa.
“Aku nggak tahu, Dil. Mungkin semua ini sia-sia,” kata Riris dengan suara pelan.
Fadil menatap Riris dengan penuh pengertian. “Jangan menyerah, Ris. Kita hanya perlu satu petunjuk yang tepat. Ayo, kita coba alamat terakhir ini.”
Mereka tiba di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Seorang pria tua dengan wajah yang mirip dengan foto di buku harian membuka pintu. “Pak Haris?” tanya Riris dengan suara bergetar.
Pria itu mengangguk. “Ya, saya Haris. Siapa kalian?”
Posting Komentar