Part 7 Pamit

"Perjalanan ini harus berbuah keberhasilan, meski diawali dengan luka dan air mata."

4 min read

Libur sekolah telah tiba Riris tengah bersiap-siap dengan bekal yang akan dia bawa ke Sulawesi untuk mencari ayah kandungnya. 


Kamar itu dipenuhi dengan kesibukan saat Riris mengemasi barang-barangnya. Pakaian berserakan di atas tempat tidur, peralatan mandi berjejer di atas meja, dan sebuah koper berdiri terbuka, siap untuk diisi. Riris bergerak dengan penuh semangat, pikirannya sudah tertuju pada perjalanannya yang akan datang.

Pamit

Ketika itu, Prasetyo datang ke kamar Riris yang memang pintunya terbuka lebar.


“Apa kamu jadi nyari ayah kandungmu?” tanya Prasetyo ke anaknya itu.


“Iya jadi lah, Ayah,” jawab Riris dengan wajah yang semringah.


“Kamu mau ke sana sama siapa?” tanya Prasetyo lagi.


Riris tersenyum. “Sama Fadil.”


“Dani gimana?” tanya Prasetyo lagi.


“Apanya yang gimana, Yah?” Riris terlihat bingung sampai-sampai dia menghentikan aktifitasnya yang sedang mengemas pakaian.


“Jangan lupa bilang sama dia kalau kamu bakalan pergi ke Sulawesi,” nasihat Prasetyo.


“Iya nanti abis ini selesai, Riris ke kantor Dani,” jawab Riris.


“Nanti ayah minta dua anak buah ayah buat nemenin kamu dan Fadil.”


“Iya, Ayah.”


Sambil menghela napas, Riris meletakkan barang yang ia bawa dan berjalan ke jendela. Ia menatap pemandangan kota, gedung-gedung yang bermandikan cahaya lembut matahari terbenam. Ia hampir bisa mendengar suara-suara kota; klakson mobil, suara pejalan kaki, dan suara sirene di kejauhan. Namun yang ia pikirkan hanyalah Dani.


Ia mengangkat telepon genggamnya dan menekan nomornya. Telepon berdering sekali, dua kali, dan kemudian dia menjawabnya.


“Hai, sayang,” suara Dani terdengar hangat dan mengundang.


“Halo, Yang,” jawab Riris, senyum mengembang di wajahnya. “Kamu ada di mana sekarang?” tanya Riris pada sang kekasih.


“Aku ada di kantor, Sayang. Ini bentar lagi mau meeting,” jawab Dani santai.


“Selesai meeting jam berapa? Aku mau ke sana.”


“Ngapain ke sini?” tanya Dani dengan nada yang agak sedikit aneh.


“Lah, mau ketemu calon suami masa nggak boleh, aku kan hampir nggak pernah ke kantor kamu, Sayang,” kata Riris sedikit protes.


“Iya, deh. Boleh,” jawab Dani pada akhirnya.


“Aku ke sana jam berapa?” tanya Riris lagi.


“Em … dua jam dari sekarang ya, Sayang,” balas Dani.


“Oke sayang, semangat yah kerjanya, emuach.” Setelah mengucapkan itu, Riris langsung saja menutup panggilan tanpa menunggu Dani membalas apa yang dia ucapkan.


Setelah dua jam Riris habiskan untuk bersiap dan berada dalam perjalanan, kini gadis itu sampai di depan kantor sang kekasih yang megah.


Pintu kaca kantor Dani berderit pelan saat Riris mendorongnya. Ia mengedarkan pandangan, mencari-cari ruangan Dani di antara banyaknya ruangan yang ada di sana. Detak jantungnya berpacu, gugup bercampur dengan rasa senang karena ini kali pertama dia datang ke kantor sang kekasih.


“Permisi,” sapa Riris pada seorang resepsionis yang sedang sibuk mengetik. Gadis itu lantas tersenyum ramah. “Saya mencari Dani. Saya Riris, kekasihnya.”


Resepsionis itu mengangguk. “Oh, Direktur Dani. Beliau sudah menunggu Anda. Langsung saja ke ruangannya saja, Nona. Ruangannya ada di lantai tiga di sebelah kiri. Ada tulisan Ruang Direktur.”


Riris mengucapkan terima kasih dan berjalan berjalan ke ruangan yang dituju. Semakin dekat, langkahnya semakin melambat. 


Gadis dengan gaun berwarna cokelat muda itu, membawa sekotak kecil donat kesukaan Dani.


Akhirnya, Riris sampai di depan pintu ruangan sang kekasih. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pelan.


Pintu kaca kantor Dani berderit pelan saat Riris mendorongnya. Cahaya fluorescent yang terang menyinari ruangan, menyilaukan matanya sejenak. Aroma kopi dan kertas memenuhi indranya. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan debar jantungnya.


Riris melirik sekelilingnya terlihat sedang mengamati sekitar, matanya mengamati setiap sudut ruangan yang ditempati oleh sang kekasih.


Dani berdiri, menghampiri Riris dengan langkah cepat. Senyumnya semakin lebar saat melihat wajah gugup kekasihnya. “Sayang! Kamu sudah datang. Ayo, ikut aku.” Dani menggenggam tangan Riris dengan lembut, memandu langkahnya menuju ruang kerjanya.


Ruangan Dani jauh lebih santai dibandingkan area kerja umum yang tadi dilewati Riris tadi. Ada tanaman hias kecil di sudut ruangan, beberapa buku berserakan di meja, dan foto mereka berdua terpajang di meja. Riris tersenyum melihat foto-foto itu, mengingat kembali kenangan indah mereka.


“Mau minum apa? Kopi, teh, atau jus?” tanya Dani sambil membuka kulkas mini.


“Kopi saja, sama seperti kamu,” jawab Riris sambil duduk di sofa kecil di sudut ruangan.


Dani langsung menelepon OB agar memuatkan kopi untuk Riris, setelah itu Dani lalu menuju ke sofa dan duduk di sebelah Riris.


“Aku bawa donat kesukaan kamu, nanti kita ngobrol sambil makan donat ya, kamu lagi siibuk nggak?” tanya Riris ragu.


“Aku mulai sibuk sejam lagi, jadi kita ada waktu satu jam untuk mengobrol.” Dani membuka kotak donat yang Riris bawa.


Riris baru saja hendak membuka suara tentang tujuan kenapa dia sampai menghampiri Dani ke kantor, tetapi bertepatan dengan itu, ada seseorang mengetuk pintu dan dari bayangan pintu kaca yang buram dia adalah seorang OB yang membawa nampan berisi secangkir kopi. OB itu masuk dan menyajikan kopi kemudian pergi lagi.


“Jadi sebenarnya aku penasaran kenapa kamu ingin sekali ke sini,” ucap Dani penasaran sambil memakan donat yang Riris bawa.


“Oh, itu. Sebenarnya aku mau pamitan ke kamu. Aku mau ke Sulawesi,” jawab Riris santai sambil memakan donatnya juga.


“Kamu jadi pergi?” tanya Dani. 


“Jadi ….”


“Berapa lama kamu akan pergi?” tanya Dani lagi.


“Sampai aku bertemu dengan ayahku,” kata Riris. 


“Bagaimana dengan kerjaan kamu?” Dani terlihat khawatir dengan sang kekasih.


“Maksimal tiga minggu aku bakal di sana, setelah itu aku bakal pulang meskipun belum ketemu ayah,” jawab Ririrs sendu.


“Kamu berangkat sama body guard ku kan?” tanya Dani lagi.


“Aku berangkat sama Fadil, tapi kalau kamu mau minta body guard kamu buat nemenin ya nggak apa,” kata Riris.


“Kenapa harus sama dia? Dia terus! Apa kamu udah nggak ngehargai aku?” protes Dani.


“Nggak ngehargain kamu bilang? Bukannya kamu yang nggak mau nemenin nyari ayahku?! Sebenernya aku itu penting nggak sih buat kamu?” balas Riris dengan ketus dan menggebu.


“Kok malah jadi kamu mikirnya gitu,” ucap Dani yang terdengar agak bingung.

Baca Juga :  Part 6 Selalu Ada

“Udah lah. Aku pulang! Lagian aku ke sini cuma mau ngabarin aja, meskipun kamu ngelarang, aku juga bakalan tetep pergi sama Fadul buat nyari ayah!”


Setelah berbicara demikian, Riris langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi dari ruangan Dani dengan hati yang kesal.

Posting Komentar