Part 6 Selalu Ada

4 min read

Beberapa hari terlewati oleh Riris dengan hati yang tidak keruan karena terus saja memikirkan ayah kandungnya yang belum juga menemukan titik terang.


Gadis itu berjalan menuju dapur sekolah untuk membuat kopi karena kepalanya mulai merasakan pusing.


Baru saja hendak mengambil kopi di rak, ada langkah kaki yang mendekatinya dan membuat Riris menoleh.


“Fadil? Kamu ke mana aja sih?” tanya Riris memelas.


“Kamu yang udah pulang duluan waktu itu,” jawab Fadil.


“Terus kemarin ke mana kok nggak berangkat?” tanya Riris kesal.


“Kemarin aku nganter anak-anak olimpiade, maaf nggak sempet ngabarin, soalnya kukira kamu udah nyari ayahmu sama Dani,” jawab Fadil.


“Boro-boro nyari! Yang ada aku kemaren tuh malah berantem sama dia. Dia tuh kek nggak ada effortnya buat hubungan kami,” adu Riris pada Fadil sambil melanjutkan membuat kopi.


“Terus kamu sekarang maunya gimana?” tanya Fadil


“Kayaknya aku bakal nyari ayahku sendiri deh,” kata Riris sambil menunduk.


“Mau nyari kapan? Terus nyarinya ke mana?” tanya Fadil sambil membuat kopi juga untuk dirinya.


“Mungkin pas liburan kenaikan kelas ini kan nggak terlalu banyak kegiatan, aku juga nggak jadi panitia PPDB, mungkin aku bisa mengajukan libur untuk itu,” tutur Riris secara terperinci.

“Ya sudah kita bahas itu nanti setelah pulang sekolah, kita ngobrol di kedai seblak aja. Gimana? Mau nggak?” tawar Fadil dengan begitu pengertian.


“Boleh, tapi aku yang bayar. Nggak boleh kamu,” pinta Riris.


“Soal bayar mah gampang,” balas Fadil.


Akhirnya setelah beberapa hari cemberut, Riris mulai tersenyum kembali.


Hari telah menjelang sore, Fadil dan Riris telah selesai dengan urusannya; mengajar dan mengurus tata usaha sekolah. Mereka kini berada di parkiran bersama.


“Jadi kan?” tanya Riris pada Fadil.


“Kapan sih aku pernah batalin janjian sama kamu?” balas Fadil tersenyum sambil memakai helmnya.


“Em … ya ga pernah sih,” jawab Riris sambil menggaruk kepala yang terbungkus hijab.


Mereka berdua pun menuju ke kedai seblak favorit Riris, yang seringkali dia kunjungi bersama teman-temannya.


Mereka berdua masuk bersamaan dan menuju ke prasmanan seblak yang berisi sangat banyak toping yang gurih dan menggiurkan lidah.


Riris memilih beberapa jenis kerupuk, sayur, dumpling, sosis, ayam, bakso dan lain sebagainya. Sementara itu Fadil yang tidak terlalu suka toping macam-macam hanya mengambil telur, bakso, kerupuk, sayur, dan ayam, dan jamur.


“Udah itu doang?” tanya Riris heran ketika melihat mangkok Fadil yang berisi toping sedikit.

“Aku kan nggak suka dumpling-dumpling gitu,” jawab Fadil yang kemudian mengambil kertas pesanan untuk Riris.


Riris pun menulis di sana request dan level seblak yang diinginkan, tak lupa juga dengan minuman yang dia inginkan.


“Itu nggak salah kamu makan level lima?” Fadil terlihat terkejut dengan apa yang Riris lakukan.


“Enggak lah, udah biasa kok.” Riris terlihat acuh tak acuh.


“Masalahnya kamu tadi abis minum kopi, Ris.” Fadil masih terus mencoba memperingati sambil menulis di kertas pesanan.


“Udah lah kamu tenang aja, aku udah makan juga kan, tadi siang. Jadi aman,” jawab Riris lagi.


Kemudian mereka berdua memilih untuk duduk di meja paling ujung.


“Terus gimana kamu jadinya?” tanya Fadil membuka percakapan.


“Gimana apanya?” Riris bertanya kembali.


“Gimana kamu bakal nyari ayahmu?” Fadil menegaskan.

“Nggak tau,” jawab Riris datar.


“Lah? Gimana sih?” Fadil terlihat kebingungan.


“Masa aku ke Sulawesi sendirian,” keluh Riris.


“Lah bukannya kamu mau ditemenin sama Dani? Atau anak buahnya,” kata Fadil.


“Kan aku udah bilang, dia nggak mau nemenin aku, dia milih ngurusin perusahaannya,” adu Riris kesal.


“Ya masuk akal sih, soalnya dia kan direktur di sana. Kalau ditinggal ya bakal remuk tuh perusahaan,” jawab Fadil mendukung Dani.


“Kok kamu malah dukung dia sih.” Kini Riris kesal karena kelakuan sahabatnya itu.


“Bukannya dukung, tapi pencarian itu pasti makan waktu yang nggak sedikit, kalau waktunya diabisin buat nyari ayahmu, terus kalian nikah, terus perusahaan hancur, kalian mau makan apa,” cerocos Fadil dengan logis.


“Ya iya, tapi kan gimana sama ayahku. Iya kalau ayahku udah meninggal malah aku mungkin nggak bakal begini pusing. Lah kalau ternyata beliau masih hidup, berarti pernikahanku sama Dani nanti nggak sah dong berarti,” jawab Riris lagi.


“Terus gimana? Mau aku temenin?” tawar Fadil.


“Emang kamu nggak sibuk?” tanya Riris agak canggung.


“Nyarinya nanti pas liburan kan?” balas Fadil.


“Iya.”


“Ya udah, ayo!”


“Beneran?” Riris terlihat tidak percaya.


“Emang pernah aku bohongin kamu?” Fadil bertanya kembali.


“Ya, enggak.”


“Ya udah.”


Kini senyum di wajah Riris berkembang lagi mendapati sang sahabat selalu ada untuknya, meskipun dia tau jikapun ayah Riris ditemukan, dia akan kehilangan Riris yang dia sayang. 


Sementara itu ada rasa nyeri di dalam hati Fadil karena dia tau jika yang dilakukan ini akan membuat dirinya semakin terluka nantinya, tetapi di sisi lain dia juga tidak ingin melihat seseorang yang dia sayang terlihat sedih.


Mungkin itu yang dinamakan sebuah pengorbanan untuk orang yang disayang. Meskipun sakit, harus tetap dijalani.


Riris kali ini terlihat sangat bahagia, apalagi seblak yang dia pesan telah sampai dan terlihat sangat menggiurkan.


“Mari makan,” kata Riris ceria.


“Berdoa dulu, jan lupa,” jawab Fadil mengingatkan.


Riris mengangguk mengiyakan ucapan dari sahabatnya itu. Wajah Riris yang berbinar menandakan jika dia sangat senang waktu itu.


“Ris …,” panggil Fadil.


“Ya?”


“Mau nonton nggak abis ini?” tanya Fadil.

“Nonton film horor terbaru, ayo!” Riris terlihat antusias.

“Oke,” jawab Fadil. Lelaki ini tau benar jika saat-saat ini Riris butuh ditemani dan diajak ke tempat yang dia suka.

Apalagi Fadil ingat jika beberapa hari ini adalah waktu Riris mengalami menstruasi, sudah pasti suasana hati gadis itu cepat berubah-ubah.

“Makasih ya, Dil. Kamu selalu ada buatku,” kata Riris senang.


“Iya, itulah gunanya sahabat,” balas Fadil.


Bibir Fadil berkata demikian, tapi hatinya teriris karena dia melakukan semua itu bukan untuk sekedar sahabat.


Di satu sisi, dia merasa bahagia atas kebahagiaan sahabatnya yang akan menikah dengan tunangannya. Di sisi lain, dia dilanda rasa sakit hati yang mendalam karena Riris adalah perempuan yang dicintainya sejak lama. Rasa cintanya yang tidak terbalas ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa dia harus membantu Riris menemukan ayahnya demi bisa menikah dengan Dani.


Setiap kali dia melihat Riris, Fadil merasakan sesak di dadanya. Dia ingin sekali mengungkapkan perasaannya kepada Riris, tetapi dia tahu bahwa itu tidak akan ada gunanya. Fadil tidak ingin merusak kebahagiaannya.


Fadil merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Dia ingin membantu Riris, tetapi dia juga ingin melarikan diri dari rasa sakit hatinya. Dia merasa hampa dan kehilangan arah.


Posting Komentar