Part 4 Ketenangan

3 min read

Ponsel Riris berdering beberapa kali. Awalnya, dia mengabaikannya, tenggelam dalam lautan kesedihan yang tak berujung. Air mata masih mengalir di pipinya. Akhirnya, setelah deringan yang kesekian, dia menyerah dan mengangkat telepon dan berbaring di kasurnya.

Ketenangan

Riris terdiam sejenak, berusaha untuk mengatur napasnya. "Fadil? Ada apa?"


"Iya, ini aku. Kenapa suaramu seperti habis menangis?" tanya Fadil dengan nada khawatir.


Riris tak mampu menahan diri lagi. Dia pun menceritakan semuanya kepada Fadil, tentang rahasia yang selama ini keluarganya sembunyikan rapat-rapat: bahwa dia bukan anak kandung orang tuanya.


Fadil mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan kata-kata penyemangat dan menenangkan Riris yang sedang terguncang. Dia meyakinkan Riris bahwa dia tetaplah Riris yang dia kenal, apa pun yang terjadi.


Setelah Riris selesai menceritakan kisahnya, Fadil berkata dengan suara lembut, "Riris, aku punya kejutan untukmu. Buka jendela kamarmu sekarang."


Riris ragu-ragu, tapi dia tetap berjalan ke arah jendela dan membukanya. Di luar sana, Fadil berdiri dengan membawa balon-balon berwarna-warni dan sebuah kue ulang tahun dengan lilin yang menyala, juga buket bunga yang besar diselipi banyak uang di sana.


"Riris!" teriak Fadil sambil melambaikan tangannya.


Riris terharu dan berlinang air mata bahagia. Dia tak menyangka Fadil akan datang memberikan kejutan yang begitu istimewa di tengah kesedihannya. Dia pun berlari keluar dari kamar dan menuju ke arah Fadil untuk memeluknya erat.


Fadil memeluk Riris dengan erat, memberinya kekuatan dan kasih sayang. 


“Selamat ulang tahun ya,” kata Fadil.


Riris sontak melepaskan pelukannya dari Fadil dan menatap mata lelaki itu dengan begitu dalam. “Ulang tahunku masih lama Fadil,” jawab Riris di tengah ia tersedu karena tangis sambil mengelap ingusnya.


“Aku tau,” jawab Fadil enteng.


“Terus ini? Ngapain kamu bawain ini banyak banget sih?” tanya Riris sambil menunjuk kue dan yang lain.


“Sebenarnya ini untukmu yang akan aku berikan tadi siang, tapi nggak jadi, aku malu karena ini tak seberapa dibanding semua yang Dani berikan,” jawab Fadil sambil menunduk karena malu.


“Tapi nggak usah banyak-banyak gini,” jawab Riris.


“Oh, kamu nggak mau?” iseng Fadil.


“Apa pun yang kamu berikan selalu menjadi salah satu yang aku tunggu, Fadil,” balas Riris sambil tersenyum.


“Ya udah makan kuenya yuk! Cukup nih buat kita berdua.” Fadil mulai duduk di taman depan rumah Riris dan memotong kue yang memang tidak besar itu untuk mereka berdua.


Riris ikut duduk dan memakan kue tersebut dengan wajah yang ceria.


“Kamu tenang saja yah, aku akan ada untukmu kapan saja kamu butuh aku,” ucap Fadil sambil mengusap kepala Riris dengan lembut.


“Tentang orang tuaku yang ada di Sulawesi gimana?” tanya Riris bingung.


Dia ingin sekali bertemu dengan sang ayah sebelum dia menikah, apa pun yang terjadi sebelum dia tau ayahnya masih hidup atau sudah meninggal dia tidak mau menikah.


“Gimana apanya?” Fadil bertanya balik.


“Aku ke sana sama siapa? Masa sendirian, mana jauh banget kan,” jawab Riris bingung.


“Ya kan ada Dani,” balas Fadil lagi.


“Eh, kupikir mau bilang, kan ada Fadil. Dasar!” Riris bicara sambil memukul lengan sang sahabat.


“Ga boleh gitu. Kamu kan tunangannya,” kilah Fadil.


“Tapi tadi katanya kalau butuh kamu, kamu akan selalu ada,” balas Riris lagi.


“Eh, iya. Lupa.” Fadil berlagak polos.


Mereka berdua diam dan menikmati kue yang ditemani angin yang menerpa dengan lembut. Namun, semakin lama, malam semakin larut. Angin yang menerpa semakin kuat dan menusuk tulang.


“Kayaknya aku harus masuk deh, tambah dingin.” riris berdiri dan mengambil buket beserta hadiah lain yang diberikan Fadil padanya.


“Iya sana. Udah malem juga,” jawab Fadil.


“Besok temani aku ke kantornya Dani yah,” kata Riris sebelum masuk ke dalam rumah.


“Ngapain, ke sana sendiri lah.” Fadil terlihat tidak enak hati karena sekarang status Riris adalah tunangan Dani.


“Ketemu dia mau bahas kelanjutan pencarian ayahku. Soalnya kata ayah Pras, dia ada di sulawesi, tapi arahnya tidak terlalu jelas, mau cari solusi,” jawab Riris dengan lugas.


“Ya udah, kan katamu tadi body guard dia ada banyak yang mau bantu, ya udah biarin aja, biar mereka yang nyari. Kami diem aja di rumah,” jawab Fadil yang kemudian berdiri juga.


“Iya, tapi ….” Riris sengaja menggantung ucapannya.


“Udah, masuk sana! Itu pikirin besok lagi biar nggak kepikiran banget. Aku duluan, ya,” ucap Fadil lalu dia pergi dari sana.


Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam ketika Riris membuka pintu rumah dengan penuh semangat. Wajahnya berseri-seri, dihiasi senyuman lebar yang tak tertahan. Di tangan kanannya, ia membawa sebuah kado yang terbungkus rapi dengan pita berwarna merah dari Fadil. Di tangan kirinya, ia menggenggam erat buket bunga yang penuh warna dan balon helium yang menggembung tinggi.


Riris melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah yang ringan dan riang. Suara kakinya yang mengetuk lantai kayu terdengar begitu ceria, memecah keheningan malam yang menyelimuti rumah. Aroma bunga yang segar dan harum memenuhi ruangan, membawa hawa bahagia dan penuh keceriaan.


Langkah kaki Riris terasa ringan saat ia melangkah menuju kamarnya. Senyuman manis menghiasi wajahnya, memancarkan aura kebahagiaan yang tak terkira. Pertemuannya dengan Fadil, telah membangkitkan kembali semangatnya yang sempat padam.


Riris masih teringat dengan percakapannya dengan Fadil di taman tadi. Kata-kata penyemangat dan nasihat bijaksana dari Fadil telah membuka matanya dan memberinya kekuatan untuk menghadapi masalah. Perlahan tapi pasti, beban di hatinya mulai terasa lebih ringan.


Sesekali, Riris mencium buket bunga yang ia bawa di tangannya. Bunga-bunga itu, pemberian Fadil, seolah menjadi simbol persahabatan dan kasih sayang yang tulus. Aroma harumnya menenangkan jiwanya dan membawanya kembali ke momen indah saat bersama Fadil.


Riris memasuki kamarnya dengan penuh semangat. Dia meletakkan buket bunga di atas meja rias, dan duduk di tepi tempat tidurnya. Ia memejamkan matanya, merasakan kedamaian dan ketenangan yang menyelimuti dirinya.


Dia menghirup napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan seolah sedang melepaskan beban yang tengah dia rasakan.


Perasaan cemas dan khawatir yang sebelumnya menghantuinya kini telah sirna. Digantikan oleh rasa optimisme dan keyakinan bahwa dia akan mampu melewati segala rintangan yang ada di hadapannya.


Riris tersenyum lebar. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia memiliki Fadil, sahabatnya yang selalu ada untuknya. Dan dia memiliki kekuatan untuk bangkit dan menjalani hidupnya dengan penuh kebahagiaan

.

“Aku bakal lakuin apa pun, demi cari tau siapa ayahku sebenarnya,” gumamnya pelan.

Posting Komentar