Sampai Jumpa Kembali

3 min read

Beberapa bulan aku lalui dengan susah payah mempertahankan sebuah kepercayaan agar aku bisa jatuh cinta lagi lain kali. 


Namun, rasanya luka yang dulu sudah mulai terobati dan hampir sembuh kini luka itu dipaksa untuk terngangah lagi dan bahkan hujannya lebih dalam. Seolah-olah setelah terluka kemudian disiram air cuka yang begitu banyak. Sakit bukan?

Sampai Jumpa Kembali

Pecahan-pecahan hatiku kini telah lebih dari kata hancur. Karena memang sebelumnya pernah hancur lalu dengan susah payah kususun ulang, meski beberapa serpihan tak kutemukan. Kini sudah harus diremukkan lagi untuk kedua kali.


Berhari-hari aku menghabiskan waktu di kamar, di depan komputer, sesekali ke cafenya Anin, seringkali aku juga berada di perpustakaan sekolah. Bukan untuk membaca buku melainkan di sanalah tempat di mana aku menemukan ketenangan.


"Hai, Pak." Suara itu aku paham sekali siapa yang berada di sampingku saat ini. Akan tetapi, karena ini berada dalam perpustakaan jadi gadis itu berbisik padaku.


"Anin udah selesai ujian, Pak. Kita jalan-jalan yuk aku tahu kalau Pak Zuhayr itu juga bosen, kan?" Entah berapa kali dia terus membujukku. Sejak saat pertama aku mengetahui jika dia telah pergi bersama suaminya hingga saat ini dia telah selesai melakukan ujian sekolah.


"Tidak, Anin."


"Kenapa tidak?" sahutnya cepat.


"Bahkan sepertinya ini adalah semester terakhir saya berada di sekolahan ini. Mungkin nanti setelah penerimaan raport kenaikan kelas saya akan keluar dari sini," jawabku.


"Maka dari itu sebelum Bapak keluar dari sini dan pergi meninggalkanku alangkah baiknya kita jalan-jalan. Minimal kita berdua pernah mengukir kisah yang indah bersama." 


Anin tersenyum simpul di hadapanku dan memasang wajah penuh harap. 


"Mungkin tidak sekarang, Anin," jawabku. Rasanya kasihan juga apabila gadis yang selalu menemaniku ke mana saja harus merasakan tidak dianggap dan kecewa.


"Kalau begitu hari Minggu jam satu siang di Gereja Pentakosta." Tanpa menungguku menjawab Anin seperti kebiasaannya langsung pergi meninggalkanku sendiri di perpustakaan.


Anak itu memang!

*

Sejak saat selesai ujian waktu itu sampai saat ini aku seringkali menghabiskan waktu dengan Anin, tetapi mungkin karena lukaku terlalu dalam juga karena trauma, tidak sedikit pun aku hatiku bergetar. Namun yang kutemui hanya de javu, tentang Dian dan keberadaannya yang seolah selalu mengikutiku.


Hari ini adalah hari terakhir sekolah untuk tahun pelajaran 2018/2019. Juga adalah hari terakhir di mana aku bekerja di sini. Di tanganku telah ada secarik kertas pengunduran diri yang telah siap aku antarkan ke kepala sekolah. Dan kini aku telah berada di ambang pintu ruangan orang dengan takhta tertinggi di sekolah ini.


Tanpa ingin terlalu banyak bicara aku hanya menyadarkan kertas ini ketika aku duduk berhadapan dengan kepala sekolah.


"Apa-apaan ini Zuhayr?" Kepala sekolah yang biasanya memanggilku dengan kata Pak sebelum namaku kini dia hanya memanggil dengan nama saja. 


"Saya ingin berhenti dari sekolah ini. Bukan karena ada faktor lain, tapi ini faktor dari dalam diri saya sendiri," ucapku pelan.


"Padahal di tahun ajaran baru nanti saya sudah mengusulkan untuk kenaikan gaji Pak Zuhayr." Ucapannya yang tadi sempat meninggikan suara sekarang melembut kembali seperti sebelumnya.


"Ini bukan masalah gaji," jawabku.


"Apakah guru di sini ada yang tidak baik dengan Anda?" Dia menerka lagi.


"Bukan, Pak."

"Lantas karena apa? Sekolah ini akan merasa sangat kehilangan Pak Zuhayr jika Anda keluar." Pak kepala sekolah terus saja membujukku, tetapi jika terus berada di kota ini kemungkinan aku akan terus mengalami dejavu dan akan meremukkan hatiku berkali-kali.


"Itu semua tidak benar, Pak. Saya ingin keluar dari sekolahan ini bukan karena lingkungan atau gaji yang tidak mendukung, tetapi ibu saya sudah makin tua dan dia butuh saya. Beliau di Kalimantan." Akhirnya aku membuat ibuku menjadi alasan agar tidak ada perasaan tersinggung dalam hati kepala sekolah dan rekan guru yang lain.


"Baiklah, jika itu sudah keputusan anda untuk berbakti kepada orang tua tentu saja saya tidak bisa mencegah. Akan tetapi jika suatu saat nanti Anda membutuhkan pekerjaan kembali sekolah ini akan selalu terbuka untuk Anda."


Ucapan yang sangat bijak dari kepala sekolah aku terima dengan senang hati kemudian diakhiri dengan berjabat tangan dan berpamitan kepada seluruh sekolah termasuk guru-guru dan pegawai lain yang ada di sekolah ini.


*

Aku pulang ke rumah dan di sana Anin, Anjar beserta mamanya sudah berada di dalam rumah dan membuatkan pesta perpisahan kecil-kecilan untukku. Karena memang sebelumnya aku sudah pamitan kepada mereka meskipun dengan berat hati mereka tetap lepaskanku untuk pergi ke Kalimantan, tempat di mana orang tua dan saudara-saudaraku ada di sana.


Tangis seru tentu saja menyelimuti kami saat ini. Apalagi Anin dia tak henti-hentinya meneteskan air mata. 


"Saya akan menunggu Anda pulang ke sini. Atau jika memungkinkan suatu saat saya yang akan menyusul Anda ke Kalimantan," katanya setelah air mata yang mengalir aku usap dengan lembut.


"Sudah saya hanya akan pergi keluar pulau, bukan ke luar negeri atau bahkan ke luar planet." Aku mencoba sedikit memberi candaan agar dia tidak terlalu memikirkanku yang masih sedih karena hati ini telah dipatahkan bahkan dihancurkan.


"Tapi yang jelas kamu tidak akan pernah keluar dari hati saya," ucap Anin sambil memaksa untuk tersenyum di tengah air matanya yang terus berderai.


"Lagi nangis aja masih sempet nggombal." Aku menarik hidungnya yang menggemaskan itu kemudian memeluknya lagi dengan erat.


Beberapa saat kemudian aku menguraikan pelukan.


"Bro, kamu baik-baik di sana. Terus kalau aku nikah, kamu jangan lupa datang, ya," ucap Anjar yang juga memeluk, tapi tanpa tangis.


Berbeda dengan mamanya Anjar yang terus saja menangis karena katanya melepasku pergi seolah sedang melepaskan anaknya untuk jauh darinya.


"Sebenarnya aku ingin sedikit lebih lama lagi di sini, tetapi jemputanku sudah datang," ucapku kemudian melepaskan pelukan dari mamanya Anjar bertepatan dengan sebuah taksi yang menjemputku.


Aku melangkah dengan berat hati meninggalkan pulau dengan sejuta kenangannya. Namun, baru selangkah kakiku berjalan ada sebuah pelukan lagi dari belakang yang aku tahu itu adalah Anin.


Aku berhenti lagi dan membiarkannya menghabiskan air mata dalam pelukku. 


"Peluk aku sampai kamu puas, jika kamu sudah melepaskan aku untuk pergi maka lepaskanlah pelukan ini."


"Pergilah, saya akan menunggumu di sini ketika kau pulang. Selamat jalan dan sampai berjumpa lagi."

Posting Komentar