Saling Membantu

"Aku keluar disusul oleh Dian yang mengantarkan aku sampai halaman. Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung menyalakan mesin motor dan melaju meninggalka"

4 min read

Di sebelah kiri kami, ibunya Dian sudah duduk di sofa berwarna cokelat tua sambil bersandar dan bersedekap. Tatapan mengintimidasi tidak bisa disembunyikan dari wajah wanita itu.


Hal itu pun yang membuat aku dengan cepat menarik tangan yang tadinya berada di punggung tangan Dian. Namun, gadis di sampingku ini terlihat biasa dan tidak gugup sama sekali.

Saling Membantu

"Yang ini kan, Kak?" tanyanya sambil menoleh ke arahku, mungkin dia mencoba menetralisir rasa canggungku dengan pertanyaan itu.


"Iya betul," jawabku.


Kami melanjutkan pekerjaan hingga semuanya selesai dan beres. Sekitar setengah jam kami membuat artikel dan ditunggui oleh ibunya Dian. Beliau duduk bergeming di sofa dengan tatapan tajam ke arah kami. Tentu saja hal itu membuat kami canggung, terutama aku. Entah kenapa aku malah menjadi merasa bersalah, padahal kejadian tadi itu adalah ketidaksengajaan belaka.


"Alhamdulillah selesai," ucap Dian sembari melemaskan jari-jarinya.


"Karena udah selesai, aku pulang ya," balasku sembari membereskan barang-barang.


"Makan dulu yuk, Kak. Nanti aku masakin," ajaknya juga sembari mematikan laptop.


"Saya ada pekerjaan lain, Dian. Nanti saya makan di rumah saja," jawabku.

"Ya sudah."


Aku bangkit kemudian menyalami ibunya Dian dan berpamitan, "Saya pulang, Bu. Terima kasih. Assalamualaikum."


Ibunya Dian menyambut tanganku dan berkata, "Hati-hati, waalaikumsalam."


Aku keluar disusul oleh Dian yang mengantarkan aku sampai halaman. Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung menyalakan mesin motor dan melaju meninggalkan rumah ini.

*

Hari-hari berlalu, aku masih sering kali intens bertemu dengan Dian tetapi bukan di rumahnya, meskipun aku mengajari dan membantunya mengerjakan tugas, semuanya kami lakukan di taman kampus atau sesekali di sekolah tempat aku mengajar, Seperti saat ini.


"Hai, Kak. Assalamualaikum," ucapnya ketika masuk di ruangan.


"Waalaikumussalam, duduk," jawabku.


"Katanya butuh bantuan, ayo aku bantuin," katanya.


"Kamu bawa laptop nggak?" tanyaku.


"Bawa."


"Ya udah, tolong input data siswa Seperti ini di laptop kamu ya. Kamu bagian yang kelas sebelas. Kelas Hayruluh udah selesai, nanti biar aku yang input kelas dua belas," titahku.


"Oke," jawabnya semangat.


Kami memang sering Seperti ini, saling bantu ketika ada tugas, apa pun itu. Namun, aku selaku bagian tata usaha meminta bantuan yang tidak rumit untuk dilakukan oleh Dian. Seperti halnya menginput data, melakukan pengecekan dan lain sebagainya.


"Kak, ini ada anak yang namanya sama, orangnya sama nggak?" tanya Dian sembari menunjukkan data itu.


"Beda. Nomor induknya saja beda," jawabku.


"Oh, iya."


Dia terlihat fokus lagi pada laptopnya dan itu membuat wajahnya semakin manis saja.


Kami memang tidak sering mengucap kata cinta, tetapi lebih ke saling memahami dan saling mengerti satu sama lain.


Tanpa terasa hubungan kami udah mendekati 3 bulan. Seperti baru kemarin aku menyatakan perasaan seminggu lagi sudah genap 3 bulan. 


Apa dia akan mengingatkan aku tentang itu? Apa aku pura-pura tidak tahu saja, atau aku yang harus memberikan kejutan?


Ah, bingung sekali.


Kejadian bulan lalu dia yang mengingatkan aku, mungkin bulan ini saatnya aku yang mengingatkan dia dan memberikan kejutan. Mungkin itu akan berkesan untuknya.


Dalam lamunan seketika telingaku menangkap suara beberapa siswi yang telah ada di sampingku.


"Pak Zu! Ih, ngelamun terus. Dipanggilin juga dari tadi," celetuk salah satu siswi.


"Enggak kok, saya sedang fokus. Bukan melamun," jawabku sekenanya.


"Eh, Pak Zu, itu siapa? TU baru yah?" tanya yang lainnya lagi.


"Bukan, dia lagi bantuin saya." 


"Kenalkan, saya pacarnya Pak Zuhayr," jawab Dian dengan tegas dan mengulurkan tangannya.


"Duh ... duh ... patah hati berjamaah ini namanya," kata mereka bersamaan sambil berakting Seperti menangis.


"Sudah, kalian ke sini mau apa?" tanyaku pada mereka agar mengalihkan perhatian.


"Saya mau bayar buku Pak," jawab salah satunya.


" Kalau saya bayar uang gedung," jawab yang lain.


"Terus yang lain?" tanyaku. Karena di sini ada empat siswi, tetapi yang berkepentingan hanya dua saja.


"Kita nemenin, hehe," jawab dua lainnya dengan kompak.


"Hadeeeh."


Akhirnya aku melayani mereka dengan segera agar tidak terlalu lama di sini dan membuat bising, apalagi jika sampai membuat Dian cemburu, aku tidak ingin itu terjadi.


"Udah, kan? Sana balik ke kelas," titahku pada keempat siswi yang duduk di depanku.


"Nanti deh, Pak. Sebelum Pak Zu nikah, kita harusnya masih bisa dong deket-deket sama Pak Zu," ucap salah satunya.


"Ih, genit banget jadi anak," ketus Dian sembari menginput data.


"Ih, cemburuan banget jadi pacar," jawab siswi yang sama.


"Udah yuk, pergi! Nggak asyik, ada pawangnya," ajak siswi yang lainnya.


"Makasih, Pak Zu. Sampai ketemu nanti sore." Mereka berkata secara bersamaan dan pergi sembari melambaikan tangan.


Selepas kepergian mereka berempat, Dian menatapku tajam seolah-olah meminta penjelasan dari apa yang siswi tadi bicarakan.


"Kenapa?" tanyaku.


"Nanti sore mau ngapain sama dia?" Dia balik bertanya kepadaku.


"Nanti sore ada ekstra kurikuler bahasa di sekolah. Mau ikut?" 


"Sebenarnya mau, tapi kan aku ada kuliah, Kak." Dian menampakkan mimik wajah memelas.


"Ya gimana? Kita ada kegiatan masing-masing. Yang penting kamu kan percaya saja sama aku." Aku memegang tangannya agar dia percaya.


"Iya deh, Kak. Maafin ya kalau aku begitu tadi," ucapnya sembari menggenggam tanganku erat.


"Nggak apa-apa, santai aja. Mereka itu emang begitu, kamu jangan terlalu mikirin ya." 


"Iya, Kak."


"Ya, sudah. Ayo lanjut," ajakku sembari menarik kembali laptop yang tadi aku sisihkan sebentar.


"Itu mereka kelas sebelas ya, Kak?" tanya Dian lagi.


"Iya, kan kelas dua belas sudah nggak boleh ikut ekstra kurikuler, fokus buat ujian," jawabku.


"Namanya Nanda, Mira, Lula, Juni?" tanya Dian.


Ucapannya itu membuatku menoleh. "Kok tau?" tanyaku.


"Ini kan?" Dia memperlihatkan data siswa yang sedang dia input dan memang ada fotonya.


"Oh, iya itu." 


"Tapi di sini mereka juga ikut ekstra kurikuler basket yah?" 


Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?"


"Aku pikir ikut ekstra kurikuler karena ingin mendekatimu saja, Kak."


"Enggak, mereka emang aktif dan cukup cerdas, jadi jangan mikir yang enggak-enggak yah," jawabku mengingatkan.


"Ya udah, Kak. Ini tinggal dikit, tapi aku harus ke kampus."


"Aku antar, ya," tawarku.


"Nggak usah, aku sama temen. Aku duluan, Kak." Dian beranjak dan menyalamiku. "Assalamualaikum," katanya bersamaan dengan suara seseorang yang aku kenal.


"Waalaikumussalam, hati-hati, ya.


"Pak Zuhayr sibuk?"

Posting Komentar