Philophobia

4 min read

Kepulanganku membawa senyum yang merekah di wajah keluargaku. Karena ternyata di sekitar tempat tinggal ada beberapa yang terkena virus mematikan bernama Corona.


"Alhamdulillah, Zu. Kamu baik-baik saja." Ibu langsung memelukku ketika dia melihatku membuka pintu.


"Ada apa, Bu?" tanyaku.

Philophobia


"Di sini virus corona sudah mulai masuk. Sebaiknya kamu jangan ke mana-mana lagi. Kalau bisa kerjaanmu dikerjakan di rumah saja," kata ibu terlihat sangat cemas.


"Iya, Bu. Kerjaan Zuhayr kan memang dikerjakan di rumah." Aku mengurai pelukan dan menuju ke kamar untuk mengambil laptop yang telah lama tidak aku gunakan.


Aku bawa ke ruang tamu bersama mereka. Kemudian membuka blog yang aku kelola.


"Lihat, Bu. Nggak usah khawatir, ya," kataku sambil menggenggam tangannya.


"Kalau gitu tunggu di sini, ibu buatkan kopi kesukaan kamu." 

"Eh, Bu —"

"Udah, diem aja."


Halaman blog yang sudah lama terbengkalai, sekarang mulai akan aku penuhi dengan pembaruan dan postingan, masing-masing disertai dengan foto dan video yang semarak. Kolom komentar sudah penuh dengan kata-kata dukungan dan dorongan sebelum aku mengetik.


Aku duduk di depan komputer, menelusuri komentar-komentar di sana dan tersenyum. Ruangan ini dipenuhi dengan kehangatan. Sepupuku juga sedang bekerja di sebelahku dengan laptopnya.


Aroma kopi yang baru diseduh tercium dari dapur saat aku duduk di sini, mengetik. Aroma roti hangat pun tercium di udara, mengingatkan saya pada roti yang pernah ibu buat.


Eh, apa ibu buatkan roti untukku?


Terlepas dari aroma makanan yang baru dimasak, ada aroma apek dan basi di udara, seperti aroma kenangan lama yang masih tersisa. Aroma kesedihan dan kesepian masih tersisa, meskipun sudah berusaha untuk melanjutkan hidup.


"Ini kopi kesukaan kamu, Zu," kata ibu sembari meletakkan secangkir kopi dan sepiring roti yang kelihatannya masih mengepulkan asap.


Kopinya terasa pahit, tetapi kehangatan yang menenangkan menyebar ke seluruh tubuhku. Rotinya lembut dan hangat, pendamping yang sempurna untuk udara sore yang dingin.


Rasa pahit di setiap sesapan seolah menjadi pengingat akan masa lalu dan masa kini. 


Dentingan keyboard menciptakan suara latar belakang yang menenangkan. Tawa dan obrolan bergema dari dapur dan ruang keluarga menjadi pelengkap sebuah simfoni. Entah sejak kapan aku merasa sedamai ini.


Rasa sakit hati yang pernah membebani pundak seperti telah terangkat, digantikan dengan rasa puas dan sukacita dalam gairah baru untuk menulis. Aku bebas mengekspresikan diri dan dihargai atas tulisan ini, dikelilingi oleh orang-orang terkasih yang mendukung dan menyemangatiku.


Kesulitan karena penolakan dan kehilangan telah membuatku mundur ke dalam kesunyian yang tenang di blog ini sebelumnya, tetapi sekarang aku datang dengan kepercayaan diri yang baru, didukung oleh komentar positif dari para pembacanya dan penerimaan keluargaku.

*

Setelah berbulan-bulan di Kalimantan dan hanya mendekam di rumah, akhirnya aku keluar dan melihat kehijauan yang subur dan warna-warna cerah dari hutan belakang rumah.


Matahari terbenam dengan warna keemasan, memancarkan bayangan di atas dedaunan yang lebat. Namun terlepas dari sekelilingku, fokus tetap tertuju pada jalan di depan, bertekad untuk terus maju.


Udara di Kalimantan dipenuhi dengan aroma bunga-bunga eksotis dan aroma manis buah-buahan tropis. Namun di tengah-tengah semua aroma alami, samar-samar tercium bau ketakutan akan virus yang mengingatkan saya akan virus yang merayap masuk ke alam liar.


Aroma tanah yang lembap samar-samar tercium di udara, membawa rasa akrab dan nyaman, tetapi di balik itu, ada sedikit sesuatu yang baru, sesuatu yang asing, sesuatu yang tidak bisa aku utarakan. Rindu.


Rindu entah kepada apa dan siapa. Yang jelas vibes Sulawesi membuatku serindu itu. 


Jantung yang tadinya berdegup kencang dengan ketidakpastian dan kekacauan, sekarang sepertinya telah menemukan ritme yang stabil. Namun, degupnya kini berbeda, bukan karena kekacauan, tetapi kerinduan.


Aku meletakkan tangan di atas dada dan merasakan detak yang stabil di telapak tangan, sebuah pengingat bahwa aku masih hidup dan mampu menghadapi apa pun yang menghadang. 


"Zu, kamu mau sampai kapan di sana?" Suara ibu terdengar di belakang.


Hari memang sudah mulai gelap, juga azan magrib yang berkumandang mengiringi.

"Ini juga mau masuk, Bu."


"Siap-siap jamaah sama yang lain," kata ibu.


"Baik, Bu."


Selepas sholat Magrib, kami makan malam bersama. Di sini akhirnya aku ungkapkan rasa yang sejak tadi kutimbang.


"Bu, Pak. Sepertinya Zuhayr mau kembali ke Sulawesi lagi," kataku di tengah makan malam kami.

"Kenapa?" tanya Ibu.


"Zuhayr sudah terlalu nyaman di sana. Dan mungkin Zuhayr akan menetap di sana," jawabku pelan.


"Ya sudah. Kami tidak akan memaksamu. Kamu sudah dewasa, sudah bisa menentukan jalanmu sendiri," jawab Bapak.


Aku hanya mengangguk saja 


"Tapi, nanti nggak bisa lewat laut karena di sana pemeriksaan ketat, lebih baik lewat udara, ya meskipun ketat tapi masih bisa ditoleransi," tambah sepupuku.


"Oke. Makasih sarannya. Aku hakal berangkat minggu depan sepertinya."

*

Hutan hijau yang rimbun di Kalimantan perlahan-lahan berganti dengan lanskap Sulawesi, dengan medan yang bervariasi dan kota-kota yang ramai. Mataku menikmati pemandangan pulau yang tidak asing lagi, membawa rasa nyaman dalam hati.


Saat turun dari pesawat di Sulawesi, udara yang hangat dan lembab menyelimuti kulit, membawa rasa nyaman dan rasa memiliki.


Satu tempat yang pertama kali saya tuju adalah kafe milik Anindya. Di mana aku begitu dihargai di sana.


Rasanya tak sabar melihat betapa riangnya gadis itu setiap saat. Aku juga sudah tak sabar melihat ekspresi terkejutnya ketika melihatku. 


Pintu kafe Anindya perlahan-lahan berayun terbuka saat aku mendorongnya, memperlihatkan pemandangan yang tidak asing lagi, yaitu dia sedang duduk di tempat yang biasa aku duduk.


Aroma hangat dan menenangkan dari kopi yang baru diseduh dan kue-kue yang baru dipanggang menyambut ketika aku melangkah masuk ke dalam kafe, bercampur dengan aroma parfum Anin yang lembut.


"Aku tiba-tiba rindu Kak Zuhayr. Dia selalu duduk di sini saat itu," kata Anin.


"Saya juga merindukanmu," balasku yang sudah berdiri di sampingnya.


Dia menoleh. "Kak Zuhayr!" pekiknya kemudian memelukku dengan begitu erat.


Kubalas pelukan itu dan mengusap rambutnya pelan. "Apa kabarmu, Nona Manis?"


"Aku? Hampir gila karena merindukanmu!" Anin melepas pelukan.


"Baiklah, sekarang duduk. Aku sudah di sini."


"Aku sudah bukan anak SMA lagi, Kak. Sekarang udah boleh pacaran sama kamu?" katanya sambil menatapku penuh harap.


Mendengar ucapan itu, suara detak jantungku yang berpacu dan napas saya yang cepat memenuhi telinga, menenggelamkan suara-suara lainnya. Setiap detaknya seperti genderang, mengingatkan saya akan ketakutan irasional saya akan cinta dan keintiman.


Ini adalah ketukan tanpa henti, pengingat yang konstan akan ketakutan. Seolah gelombang sedingin es menyapu raga, membuat bulu kuduk saya berdiri. Rasanya seperti sejuta jarum yang menusuk-nusuk kulit saya, membuatku menggigil tanpa sadar


Seolah-olah bayang-bayang dari semua ketakutan hubungan masa lalu telah berkumpul dan mengambil bentuk fisik, melingkar dan menggeliat di sekitar satu kata yang memiliki kekuatan untuk melumpuhkan.


 Itu adalah simpul ketakutan yang kusut, meliuk-liuk di dada saya seperti hutan yang dirusak, menghabiskan semua cahaya dan harapan yang dilaluinya.


"Saya belum siap untuk jatuh cinta lagi. Seolah-olah sebuah cinta dan suatu hubungan adalah trauma yang begitu mendalam. Maaf."

Pada akhirnya kami hanya saling tatap. Kemudian tertawa tanpa sebab. Begini ketakutannya, ketika jatuh cinta adalah trauma.


Posting Komentar