Part 3 Sebuah Fakta

"Dengan tatapan yang serius, Prasetyo memandang satu per satu dari mereka yang ada di ruangan itu"

4 min read

Suasana di rumah keluarga Riris terlihat begitu sakral saat ini karena kedatangan tamu yang tidak lain adalah keluarga dari Dani dengan membawa banyak seserahan dan datang untuk melamar gadis itu.


Ruang tamu keluarga Riris dihias dengan begitu megahnya karena memang Riris adalah anak dari pengusaha kaya dan terkenal di kota ini. 


Cahaya redup dan hangat menciptakan suasana romantis dan intim. Ditambah dengan lampu kristal yang berkilauan di langit-langit yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Lilin aroma terapi pun ditempatkan di berbagai sudut ruangan untuk menambah aroma menenangkan.

Sebuah Fakta

Di salah satu sudutnya terdapat bunga segar warna-warni menghiasi ruangan, melambangkan cinta dan kasih sayang. Di belakangnya bertuliskan nama Riris dan Dani. Manis sekali.


Fotografer pun memiliki andil di dalamnya untuk mengabadikan momen sakral itu. Riris dengan gaun berwarna dusty pink dengan makeup flawless makin membuat gadis itu terlihat anggun dan cantik.


Di sana juga ada Fadil yang mendampingi dan membantu Riris dalam segala hal. Meskipun hatinya merasa sangat sakit dan terus saja mencoba menahan air mata, dia tetap melakukan semuanya dengan baik hingga paripurna.


Semua rangkaian acara telah selesai dan para tamu undangan telah pulang ke rumah masing-masing. Kini menyisakan kedua keluarga inti yang melanjutkan percakapan.


Riris dan Dani duduk di sofa berdampingan, wajah keduanya berseri dan terlihat sangat bahagia. 


“Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, acara hari ini berjalan sangat baik dan lancar,” ucap Prasetyo, ayahnya Riris.


“Benar. Akhirnya acaranya lancar dan tidak ada yang rusuh,” sahut ayahnya Dani, Bayu.


“Sebenarnya kami takut jika tadi akan ada kerusuhan entah dalam hal apa,” kata Dani menimpali.


“Tidak perlu khawatir, nyatanya sekarang sudah selesai dan lancar,” jawab Rahma, ibunya Riris.


“Sambil makan, lebih baik kita bicarakan hal yang lebih penting,” kata Prasetyo lagi.


Suasana ruang makan hangat dengan aroma masakan yang sedap. Riris duduk di depan ayahnya, Prasetyo, yang terlihat wajah tegang. Dani, tunangan Riris, duduk di sampingnya, mereka terlihat bingung.


“Ayah, ada apa yang ingin Ayah bicarakan?” tanya Riris.


Dengan tatapan yang serius, Prasetyo memandang satu per satu dari mereka yang ada di ruangan itu. “Nak, ada hal penting yang harus Ayah sampaikan sebelum kamu menikah dengan Dani.”


“Apa itu tentang pernikahan kami berdua?” tanya Dani penasaran.


“Bukan itu, ini lebih penting dari pernikahan kalian,” jawab Prasetyo.


Riris agak terkejut. “Apa yang lebih penting dari pernikahan, Ayah?”


Prasetyo menghela napas pendek dan terlihat sangat berat. “Sebenarnya, kamu bukan anak kandung Ayah dan Ibu.”


Riris terlihat amat terkejut. “A-apa?! Maksud Ayah apa?” kata Riris terbata-bata.


Prasetyo kemudian menunduk karena merasa tak kuasa untuk memberitahukan itu semua. “Ayah kandungmu menitipkanmu kepada kami saat kamu masih bayi. Kami memutuskan untuk membesarkanmu sebagai anak kandung kami.”


Air mata Riris mulai menganak sungai. “Kenapa ayah kandungku menitipkanku? Di mana dia sekarang?”


“Selain karena ibumu yang telas meninggal, ayah tidak tidak tahu pasti alasannya. Dia hanya meninggalkan surat yang berisikan pesan agar kamu menyusulnya sebelum menikah. Agar pernikahanmu sah secara agama,” jawab Prasetyo.


Sementara itu Dani terlihat bingung tentang apa yang ingin dia sampaikan, hingga hanya bisa diam. Begitu juga dengan orang tuanya.


Beberapa saat saling terdiam, akhirnya Dani membuka suara. “Nanti biar body guard saya ikut bantu cari,” balas Dani.


“Iya benar. Di mana kami harus membantu mencari?” tambah Bayu dengan penuh percaya diri.

“Sulawesi,” singkat Prasetyo.


Semua mata yang ada di sana langsung terbelalak sempurna mendengar satu kata yang Prasetyo ucapkan.


“Bagaimana mereka bisa di sana?” Riris terkejut lagi.


“Bukan bagaimana mereka di sana, mereka memang tadinya di sana, karena kami yang pindah ke sini,” jawab Prasetyo lagi.


“Aku bakal tetap di sini untukmu. Kita akan hadapi ini bersama,” ucap Dani mencoba untuk menenangkan tunangannya itu.


Riris menatap Dani dengan penuh rasa bahagia. “Terima kasih, Sayang. Aku sangat beruntung memilikimu.”


“Ayah harap kamu bisa memaafkan kami, Nak, karena tidak membicarakan ini lebih awal,” kata Prasetyo berharap sang anak mengerti.


Riris hanya mengangguk mencoba mengiyakan meskipun batinnya hancur berantakan.


Makan malam mereka pun selesai dan Keluarga Dani juga sudah berpamitan, kini menyisakan Riris dan keluarganya.


“Kalau gitu Riris ke kamar ya, Ayah, Ibu,” kata Riris yang kemudian pergi dari sana.


Gadis itu masih terdiam menahan sesak di dada yang kian dalam mengikuti langkahnya menuju ke kamar. Tangannya yang mulus memegang handle pintu dan membukanya perlahan. Kakinya memasuki kamar yang dindingnya berwarna peach dan dihiasi dengan berbagai poster dan foto dirinya. Pintu tertutup otomatis dan terkunci.


Di sudut ruangan, terdapat rak buku yang penuh dengan buku-buku bahasa Inggris, mulai dari novel klasik hingga buku pelajaran. Di atas rak buku, terdapat globe yang berputar-putar dan beberapa boneka beruang dengan topi bowler. Di atas meja belajarnya, terdapat laptop, pulpen, buku-buku catatan, dan ponsel yang baru saja dia letakkan.


Di dekat jendela, terdapat kursi malas yang nyaman dengan selimut bulu domba. Di atasnya, terdapat beberapa majalah bahasa Inggris dan buku-buku puisi. Di sudut lain ruangan, terdapat lemari pakaian yang penuh dengan berbagai macam pakaian seperti gaun, rok, dan blouse.


Di atas tempat tidurnya, terdapat sprei berwarna pink dengan motif bunga-bunga kecil. Di samping tempat tidur, terdapat meja rias dengan cermin besar dan rak yang penuh dengan berbagai macam kosmetik dan aksesoris rambut.


Di depan cermin, Riris duduk dan membersihkan wajahnya dari makeup yang melekat dan membuka semua aksesoris yang melekat sebelum mencoba untuk tidur.


Semakin lama di depan cermin dia makin terpuruk mengingat dia dititipkan oleh orang tua kandungnya.


Dia pun beralih dan duduk di kursi malasnya sambil menatap ke luar jendela. Ruangan yang biasanya tampak nyaman dan hangat kini terasa aneh dan mencekam. Pikirannya berputar-putar, dipenuhi pertanyaan dan rasa sakit yang tak tertahankan.


Beberapa saat yang lalu, dia mengetahui kenyataan pahit: dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Berita itu menyambar bagaikan kilat di tengah hari, menghancurkan dunia yang menurutnya sempurna. Pertunangannya dengan Dani yang dulu penuh kebahagiaan, setelah semua terjadi malah terasa hampa dan tak berarti.


Riris merasa hancur. Dia kehilangan identitasnya,  rasa amannya, dan cinta yang  dia terima dari orang tuanya.


Pertanyaan  terus bermunculan di kepalanya.


Siapa orang tua kandungnya?


Mengapa mereka meninggalkannya?


Bagaimana dia bisa hidup dalam kebohongan begitu lama?


Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi pipi pucatnya. Dia merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Riris memeluk lututnya erat-erat, berusaha menahan rasa sakit yang menusuk di dadanya.

Dia tidak tahu bagaimana akan melewati masa sulit ini.


Dia merasa kesepian dan tidak berdaya.


Di luar, bulan terlihat memandangnya dengan sendu seolah mengerti apa yang sedang dirasakan gadis bernama Riris Zahrany.

Posting Komentar