Nonton Konser

3 min read

Itu adalah suara Anin, entah apa yang ingin dia bicarakan atau mungkin sekedar ingin bertemu denganku.


"Nggak sibuk, Anin. Ada apa?" tanyaku.


"Saya mau ngobrol sama Pak Zuhayr," ujarnya dengan wajah yang seperti sangat serius.

Nonton Konser

"Ya udah ngobrol aja di sini bisa kan?"


"Bisa sih, tapi Anin pengin di kantin aja, Pak," jawabnya.


"Ya, nanti makan siang ya," balasku. "Sekarang mau ngapain?"


"Anin nggak ada kegiatan, Pak, bingung."


Aku teringat pekerjaan Dian belum selesai. "Kamu bantuin saya mau nggak?"


"Apa?"


"Input data siswa," jawabku.


"Boleh deh." Dia terlihat antusias dan langsung melalukan yang aku minta.

**

Kali ini aku dan Anin telah berada di kantin sekolah untuk makan siang dan mengobrol sesuai kesepakatan kami tadi.


Setelah memesan makanan kami memilih tempat duduk yang agak jauh dari kasir.


"Mau ngobrol tentang apa, Anin?" tanyaku penasaran.


Anin terlihat mengambil sesuatu dari saku seragamnya. "Aku ada dua tiket. Nanti malam nonton yuk, Pak!" ajak Anin dengan antusias.


"Nonton apa?" tanyaku lagi.


"Konser band lah, baca dulu. Jarang banget band selegedaris ini manggung di dekat sini kan, Pak? Hayuk nonton ...," rengek Anin dengan wajahnya yang mulai berubah menjadi seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen pada ayahnya.


"Jam berapa?" Aku mengambil tiket itu dan melihatnya.


"Jam delapan, Pak. Aku udah beli dua tiket, kalau nggak ngajak Pak Zuhayr aku ngajak siapa?" 


"Temanmu?" 


"Nggak mau, maunya sama Pak Zuhayr," jawab Anin dengan tingkahnya yang manja.


"Iya, nanti malam saya temani kamu," jawabku pelan. Kasihan juga lihat gadis ini merengek.


"Yeeey! Makasih Pak Zu. Nanti makanannya biar saya yang bayar."


Senyumnya terlihat semringah sekali, apakah dia memang sebahagia itu? Jika benar, syukurlah.


Aku hanya tersenyum menanggapi dia yang terus berucap terima kasih. Padahal aku hanya menemani dia menonton, dan tiketnya dia yang beli. Namun, kenapa dia bisa sebahagia itu?


"Ya udah tuh, makan," ucapku ketika makanan kami diantar.


"Iya, Pak. Iya ... perhatian banget deh sama Anin," balasnya sambil mesam-mesem.


Tak mau membalas dan membuatnya sakit hati, aku memilih diam dan membiarkan dia senang. Itu lebih baik kan?

*

Aku sudah sampai di depan kafe milik Anin dan gadis itu pun terlihat sedang berjalan keluar dari kafenya. Sekarang sudah lepas Magrib dan sepertinya sedikit terlambat. 


Aku sendiri telah izin pada Dian jika malam ini aku menonton konser, meski aku tidak bilang jika bersama dengan Anin, tetapi karena dia memang tidak bertanya.


"Ayo, Pak! Anin udah siap!" serunya dengan gembira. 


Gadis ini memakai kaus oblong warna hitam dan celana PDL senada, tak lupa sepatu boot yang juga hitam. Rambutnya yang dikuncir acak membuat dia terlihat cocok, sedangkan aku lebih terlihat seperti seorang kakak yang akan mengantarkan adiknya. Aku memakai sepatu sport, celana jeans, kaos hitam yang dibalut dengan jaket jeans juga.


"Langsung gas?" tanyaku.


"Iya, lah. Ini juga kayaknya telat." 


Kami pun langsung menuju venue.

*

Hari ini adalah Sabtu terakhir masuk sekolah di Desember tahun 2018, karena hari ini juga adalah hari di mana semua siswa SMA menerima laporan hasil belajar mereka selama satu semester ini.


Semua tugas mengisi administrasi telah usai, tapi masalahku dengan Dian entah kapan akan usai. 


Kehilangan kabarnya secara tiba-tiba membuatku kelimpungan sendiri, bingung apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa terdiam seperti apa yang saat ini aku lakukan. Aku terduduk di kursi, menatap kosong ke depan memikirkan apa yang harus kulakukan.


"Pak! Pak Zuhayr!" Seseorang mengagetkanku dengan menepuk pundak cukup keras.


Aku menoleh, dia Anin. "Ada apa?"


"Raport Anin nggak bisa diambil. Orang tua Anin nggak ke sini." Dia berkata dengan nada datar dan tanpa terlihat sedih sedikit pun. 


"Kamu mau saya yang ambilkan?" tanyaku pada gadis yang kini sudah duduk di depanku. Jarak kami berdua sekitar dua meter dengan meja sebagai penghalang.


"Nggak, saya cuma mau bilang karena saya nggak ada yang perlu diurusin di sekolah, gimana kalau kita jalan, Pak?" tawarnya padaku.


"Tidak bisa, Anin." 


"Kenapa, Pak? Pak Zuhayr bosen yah jalan sama Anin? Atau ada agenda jalan sama Kak Dian?" Dia nyerocos lagi di depanku. Seolah-olah dia tidak menerima rapor di semester ganjil ini bukanlah masalah untuknya.


"Saya kehilangan akses menghubungi Dian. Saya harus bagaimana?" Aku mengeluh padanya, karena selain Anjar, dialah yang paling dekat denganku. Apalagi saat ini Anjar sudah sibuk bekerja setelah pengangkatan jabatannya.


"Kita cari ke kampusnya?" 


"Em ...."


"Anin temani cari sampai ketemu," sahutnya lagi.


"Baiklah, tunggu hingga semuanya pulang ya," jawabku pelan.


"Oke! Kalau gitu Anin ke kantin, Pak. Kabari kalau ada apa-apa. Oke?" Belum sempat aku menjawab, dia sudah beranjak dari duduknya dan pergi menjauh dariku dan keluar dari ruang tata usaha.


Entah mengapa aku malah tidak terpikirkan untuk mencari ke kampusnya. Padahal aku tau di mana dia biasanya berada. Mungkin pikiran kalut beginilah jadinya, tidak bisa berpikir dengan tenang.

*

Sekarang aku sudah berada di depan salah satu kampus bersama dengan Anindya di sampingku. Garis di sebelahku ini menatap ke kampus itu dengan tatapan takjub.


"Pak Zu, Kak Dian kuliah di kampus megah ini?" tanya Anin dengan mata yang penuh binar harap.


"Iya, mungkin nanti kita akan sulit untuk menemukan dia di sini tapi kamu mau membantuku kan?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.


"Tentu saja, Pak. Anin akan membantu Anda dengan senang hati. Anin juga sekalian mau lihat-lihat kampusnya, siapa tahu nanti Anin bisa kuliah di sini," seru Anin dengan antusias.


"Baguslah. Biar sambil menyelam minum air, mandi sekalian."


"Oh, jelas! Ayo, Pak. Jangan kelamaan. Mikir apa sih?" 


Aku yang harusnya mencari Dian, tetapi yang lebih antusias malah Anin, dia bahkan menarik tanganku lebih dulu untuk masuk ke areal kampus tersebut. 


Kami berdua mencari Dian menuju kelas yang biasanya dia tempati juga beberapa teman kampusnya yang pernah aku temui beberapa waktu lalu, ke kantin, juga taman tak ketinggalan. Namun sayang, semuanya nihil. Bahkan salah satu teman kampusnya bilang jika Dian sudah satu bulan ini tidak berangkat kuliah.


Itu berarti selama ini dia bilang pergi kuliah itu semuanya bohong, lantas dia pergi ke mana?

Posting Komentar