Ngambek

4 min read

Tiba-tiba Anin menyeletuk untuk meminta foto

"Buat?" tanyaku heran.


"Buat kenangan, kalau Pak Zuhayr udah nikah sama Kak Dian kan aku nggak bisa foto bareng lagi," katanya.


"Ya udah, ayo!"


"Pakai hapenya Pak Zuhayr, ya," katanya lagi.

Ngambek

Aku pun mengeluarkan ponsel tanpa menjawab lagi ucapannya kemudian berpose untuk berfoto selfie dengan ponselku.


Satu, dua kali, dan seterusnya. Selagi dia bahagia dengan semua ini, mungkin tidak apa-apa aku lakukan.


Di foto yang kelima atau ke berapa aku lupa, ada pesan masuk dari Dian di ponselku.


"Tuh, Kak Dian chat, kangen kali," kata Anin sambil menarik diri dari sebelahku.


"Kan, saya sudah bilang sama kamu kalau nanti saya mau ke rumah Dian," kataku pelan sembari membuka pesan dari Dian.


"Iya, nggak apa-apa."


[5 menit lagi aku keluar. Kamu di mana?] Itulah pesan yang Dian kirimkan. Rasanya baru sebentar, kenapa sudah hampir dua jam?


[Aku lagi di pergi sebentar, kalau aku belum sampai, tunggu ya]


"Kenapa, Pak? Kok, mukanya gitu?" tanya Anin tiba-tiba. Kutengok ke arahnya, wajah Anin menampakkan ekspresi yang terlihat penasaran.


"Heran, baru juga tadi, udah dua jam. Aku harus jemput Dian terus ke rumahnya," jawabku kemudian berdiri.


"Ke rumahnya jangan lupa bawa oleh-oleh, martabak tuh, enak. Pasti orang tua Kak Dian bakalan suka," usul Anin yang juga berdiri.


"Kamu tau di mana martabak yang enak?" tanyaku karena teringat permintaan Dian dua jam yang lalu.


"Ada, kalau Pak Zuhayr mau ke arah kampus perhatikan saja di kanan jalan. Dari sini penjual martabak pertama. Dijamin enak," katanya lagi.


"Oke, siap." Aku mengeluarkan uang dengan nominal seratus ribu dan aku taruh di telapak tangan Anin dan kupaksa menggenggam, setelahnya aku berlari pergi. "Assalamualaikum," kataku.


"Pak, kebanyakan!" serunya kencang. Namun, tidak kujawab. Aku langsung tancap gas dan mencari penjual martabak yang disarankan oleh Anin.


Sekitar jarak tiga ratus meter dari kafe Anin, aku menjumpai sebuah kedai martabak dengan beberapa orang yang mengantre. Aku pun segera menghentikan laju motor dan memesan martabak manis topik keju dan cokelat, martabak asin juga tidak lupa.


"Saya tinggal jemput dulu ya, nanti saya balik ke sini lagi," kataku pada penjual martabak itu.


"Siap!"


Aku pun melanjutkan perjalanan menuju ke arah kampus. 


Ketika sampai di sana, kulihat Dian sudah siap dan menungguku di parkiran. Langsung saja kuhampiri dia.


"Ayo, langsung!" kataku.


"Ayo, beli martabak jangan lupa, ya." Dian mencoba mengingatkan aku Sepertinya.

"Aku sudah pesan, tinggal ambil."


"Ya udah, ayo!" 


Dia membonceng. "Kak, boleh pinjam hape?" tanyanya. Padahal aku sudah memasukkan gigi motor dan hampir melaju.


"Nanti saja yah, kalau di rumahmu," kataku kemudian menarik gas motor dan melaju dengan kecepatan sedang.


"Ya udah," jawabnya pelan.


Ketika sampai di kedai martabak ternyata pesanan sudah jadi dan bisa langsung diambil, tanpa panjang lebar aku langsung membayar dan berbalik arah menuju ke rumah Dian.


Kami berdua berjalan bersamaan setelah motor terparkir di halaman rumah. Seraya berjalan, aku mengeluarkan ponsel karena tadi Dian ingin meminjamnya.


"Ini hapenya. Kamu bilang mau pinjam," ucapku seraya menyodorkan ponselku padanya.


"Nggak jadi," jawabnya datar.


Ini pertama kalinya dia ingin meminjam ponsel dan sekarang malah nggak jadi, perempuan memang aneh.


Akhirnya pintu dibuka oleh Dian, kemudian kami disambut oleh ibunya Dian.


Aku langsung menyambut tangan beliau dan menciumnya secara takzim.


"Ini Kak Zuhayr yang biasa Dian ceritakan, Bu," ucap Dian yang kemudian duduk di sofa berwarna cokelat tua yang hanya beda sedikit warna dengan dinding yang didominasi cokelat muda.


"Oh, ini. Silakan duduk, Nak Zuhayr." 


Aku pun duduk setelah dipersilakan duduk oleh ibunya Dian.


"Dian, buatkan minum untuk Nak Zuhayr," titah sang ibu pada Dian. Gadis berkerudung itu hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan sang ibu kemudian pergi dari ruangan ini.


Kini hanya tinggal kami berdua di ruangan ini, aku dan ibunya Dian.


"Nak Zuhayr sudah berapa lama pacaran sama Dian?" tanya beliau.


"Sekitar sebulan, Bu," jawabku sembari menunduk, bukan karena takut, melainkan karena menghormati beliau.


"Kerja apa sekarang, Nak Zuhayr?" 


"Sekarang saya TU di salah satu SMA, Bu."

"Oh, iya." 


Beliau menanggapi dengan datar seolah biasa-biasa saja Seperti ibu-ibu pada umumnya. Tak lama kami dalam kebisuan, Dian datang menghampiri dengan membawa secangkir kopi dengan aroma yang menguar dan menusuk indera penciuman.


Terlihat Dian juga membawa martabak yang aku belikan tadi. "Silakan diminum, Kak."


"Ini kan martabaknya buat Ibu," kataku.


"Oh, ibu sudah dipisahkan sendiri di belakang," jawabnya kemudian duduk.


"Ya sudah, Ibu ke belakang dulu ya, kalian ngobrol saja nggak apa-apa," kata ibunya Dian.

"Iya, Bu."


Ibunya Dian pun meninggalkan kami berdua di ruangan ini. 


"Dian, kamu nggak jadi pinjam hapeku kenapa?" tanyaku masih penasaran.


"Nggak apa-apa." Nada bicaranya biasa, tapi mimik wajahnya terlihat kesal.


Aku menyodorkan ponselku lagi. Kemudian meraih cangkir kopi dan menyeruputnya.


"Ini kalau mau pinjem, tadi aku bilang nanti kalau di rumah karena di jalan. Nggak aman, nggak baik. Kenapa malah ngambek?"


"Nggak ngambek kok, aku biasa aja. Tapi emang udah nggak mau minjem aja," jawabnya.

"Ya udah, kalau nggak apa-apa." 


"Kak, aku capek. Kamu pulang, ya?" pintanya sambil memandang dengan wajah lelah.


"Ya udah, aku pulang ya," pamitku kemudian berdiri.


"Iya," jawabnya ikut berdiri juga.


Entah kenapa dia langsung berubah begitu, padahal tadi kan dia semangat banget buat ngajak aku ke sini.


Aku menuju ke halaman dan menaiki kuda besi kesayanganku. "Assalamualaikum, salam buat Ibu, ya."


"Iya, waalaikumussalam."


Aku melaju sampai menuju ke rumah tanpa mampir ke mana pun lagi karena waktu sudah hampir Magrib.


Seperti manusia pada umumnya, aku mandi dan membersihkan diri yang dilanjutkan dengan sholat Magrib.


Setelah sholat, aku membuka ponsel dan ingin mengirim pesan pada Dian, tetapi di sana ada pesan dari Anin.


[Pak, fotonya kirim]


Tanpa menunggu lama, kukirim saja semua foto yang tadi diambil dengan ponsel ini. Ah, untung saja tadi Dina tidak jadi pinjam ponsel, coba kalau jadi, bakal cemburu pasti dia.


[Gimana ngapel? Lancar?] 


Satu pesan lagi terpampang di room chat Anin.


[Dia ngambek. Nggak tau kenapa] Jawabku.


[Pak Zuhayr nggak peka mungkin.]


[Dalam hal apa] Balasku lagi.


[Ya dia ngambek sejak kapan. Coba pikir-pikir lagi]


Pesan dari Anin membuatku berpikir cukup keras. Di bagian mana aku membuat kesalahan. Apa karena aku membeli martabak di tempat lain? Atau ....

Posting Komentar