Mencoba Ikhlas

4 min read

Aku agak panik karena mendengar kabar tentang Anin. "Dia kenapa, Njar?"

"Tadi pas kamu habis dari sana sama si Dian, aku kan ke sana, nah dia deketin aku," kata Anjar membuka percakapan.


"Terus?" tanyaku mulai penasaran.

"Ya gitu, dia nangis pas denger kamu nembak Dian."


Aku pun terkejut mendengar hal itu, kenapa Anin sampai menangis. Apakah ....


"Dia tuh suka sama kamu, Hayr. Kenapa kamu nggak peka?" Ucapan Anjar membuatku sedikit terkejut. 


Jadi apakah kebaikannya selama ini karena dia menyukaiku? Atau apa maksudnya?


"Lalu sekarang dia di mana?" tanyaku penasaran.


"Ya ada di kafe, kan masih sore. Tadi pas aku pulang masih di sana," jawab Anjar. "Sana susulin lah, kasihan."


"Terus aku kudu ngapain?" tanyaku masih bingung.


"Ya kamu minta maaf kek, atau gimana. Atau kamu bisa bilang kamu juga sayang dia, tapi sebagai adik, atau gimana, terserah kamu. Masa harus diajarin."


Aku langsung beranjak dan meninggalkan Anjar di ruang tamu. "Nanti kalau mau pergi, ya pergi aja. Kalau mau di sini ya nggak apa-apa," kataku sembari berjalan.


Ya, aku memang langsung bergegas ke kafe Anin untuk melihat keadaan gadis itu. Aku sama sekali tidak tau tentang ini, kupikir dia memang Seperti itu ke semua guru karena rasa hormat yang dia junjung tinggi, tetapi nyatanya bukan.


Kini aku telah sampai di kafe milik Anin dan langsung masuk ke dalam.


"Anin di mana?" tanyaku.


"Ada di  kantor, Pak," kata salah satu karyawan Anin.


Aku pun bergegas menuju ke kantor dan masuk ke dalam.


"Assalamualaikum, Anin. Kamu baik-baik aja?" tanyaku ketika masuk.


Di sana terlihat Anin di sofa sambil mengoperasikan laptopnya. Dia bersandar Seperti sangat lelah. Matanya pun terlihat sembap, apa dia benar-benar habis menangis?


"Waalaikumussalam, masuk Pak," jawabnya sambil tersenyum manis padaku. 


Aku yang memang udah masuk, melangkah menuju ke Anin. "Kamu baik-baik aja?" tanyaku lagi.


Ya, pertanyaanku yang tadi memang belum dijawab oleh gadis ini, jadi aku harus mengulangi pertanyaan tadi.


"Aku baik," katanya.


Aku duduk di sebelahnya, ternyata dia tidak melakukan apa pun di laptopnya. 


Aku mengangkat laptop di pangkuan Anin dan memindahkannya ke meja. Dia masih duduk termangu dan pandangan masih kosong ke depan.


Tanganku mengulur dan mendekap Anin dari samping kanan. 


"Pak ...," lirihnya yang langsung mendekapku dengan erat.


"Kamu kenapa?" tanyaku pada Anin sembari membelai rambutnya yang tergerai.


"Aku  ... aku ...." Suaranya terbata-bata.


"Saya salah ya?" tanyaku lagi.


"Enggak, Pak Zuhayr nggak salah. Anin yang salah. Anin udah suka sama Pak Zuhayr, tapi nggak berani bilang sampai akhirnya ...." Ucapannya menggantung lagi di bagian ujung. 


"Jangan menyalahkan diri sendiri, semua sudah berada di jalannya masing-masing, Anin." Aku mencoba menenangkan gadis manis yang ada di dekapanku.


"Pak Zuhayr tetep mau kan dekat dengan Anin?" Gadis ini masih di pelukanku, bahkan semakin

 membenamkan wajahnya di dadaku.

"Iya, kamu nggak usah khawatir, Anin. Kamu sudah Seperti adikku sendiri," ucapku masih menenangkan gadis ini.


Dia masih tersedu. "Tapi Anin ingin lebih dari adik, Pak. Apa Anin kurang cantik dibandingkan Kak Dian? Atau karena Kak Dian pakai hijab?"


Gadis manis ini mengurai pelukan dan duduk tegak sembari menatapku dengan tatapan yang entah.

 

"Ssssttt!" Telunjukku langsung mendarat begitu saja di bibir tipis dan seksi milik Anin. "Tidak ada hubungannya dengan penampilan. Kamu cantik dengan gayamu, Dian juga cocok dengan gayanya sendiri, jadi jangan bandingkan dirimu dengan siapa pun." 


Anin memalingkan wajahnya hingga membelakangiku. "Tapi nyatanya Pak Zuhayr lebih memilih nembak Kak Dian daripada aku."


Gadis ini masih kesal Sepertinya. "Ini soal rasa, Anin. Untuk saat ini, rasaku untuk Dian. Namun, siapa yang tahu kejadian ke depannya."


Wajahnya kini berpaling lagi padaku, matanya yang masih sembap membulat sempurna seolah meminta penjelasan dari apa yang baru saja aku ucapkan.


Aku mengusap wajahnya. "Biasa aja kali lihat sayanya."


"Iiih! Maksudnya—"


"Tuhan itu Maha Membolak-balikkan Hati, jadi kita nggak tau ke depannya bagaimana. Jadi terima saja yang sudah menjadi takdir dari Tuhan kita. Paham?" ujarku diakhiri dengan pertanyaan padanya.


"Paham, Pak. Tapi janji yah tetep masih mau deket sama Anin," pintanya sambil memonyongkan bibir.


Aku menggeleng. "Saya tidak bisa berjanji yang berada di luar kendali saya. Jadi selama kita masih bisa bertemu, nikmati saja.

"

Ucapanku kuakhiri dengan menarik gemas hidungnya.


"Paaak ...."


Sebelum dia selesai dengan saltingnya yang membuat wajah putihnya Seperti kepiting rebus, aku peluk dia lagi. "Nggak apa-apa, ya."


"Iya," jawabnya singkat dan membalas pelukanku dengan erat.


Rasanya sedikit lega karena Anin mau menerima ini semua dengan lapang dada untuk saat ini, semoga untuk ke depannya juga. Dengan begini, aku tidak terlalu merasa terbebani dengan semua ini.


Setelah Anin tenang, aku memilih untuk mengobrol dulu dengannya beberapa saat sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang.


Hari sudah gelap dan aku sampai di rumah bertepatan dengan azan magrib yang berkumandang. 


Sedikit heran kenapa pintu rumah masih sedikit terbuka, apa iya Anjar tidak pulang, padahal aku meninggalkannya cukup lama tadi.


Kubuka pintu perlahan, tidak ada orang. Anjar emang, yah! Nutup pintunya nggak bener.


Namun, ada bau masakan dari dalam. Siapa yang masak?


Kuikuti bau masakan yang makun menyengat indera penciumanku ini. Ketika di dapur, mataku dikejutkan dengan sesosok wanita paruh baya yang tidak lain adalah mamanya Anjar sedang memasak dan anaknya sedang duduk di kursi meja makan.


"Selamat datang. Duduk ... duduk! Anggap saja rumah sendiri," kata Anjar dengan raut wajah menyebalkan dan sok-sokan mempersilakan duduk. Padahal kan ini rumahku.


 "Heh, ini kan rumahku!" bentakku kesal.


"Sudah ... sudah ... kalian ini bertengkar terus, kaya tikus ama kucing," sergah mamanya Anjar sembari menghidangkan makanan di meja.


"Ini dalam rangka apa, sih? Kok pakai masak-masak segala, Bu?" tanyaku heran yang kemudian duduk di depan Anjar.


"Kata Anjar kamu baru aja jadian sama pacarmu, jadi ini patut untuk dirayakan," jawab mamanya Anjar yang juga ikut duduk.


"Tapi harusnya Ibu nggak usah repot-repot."


"Nggak apa-apa, Zuhayr. Ibu senang kalau kamu sudah bisa menerima perempuan lain. Nggak Seperti waktu itu," jelas mamanya Anjar yang kemudian mengambilkanku nasi dan sayur yang dia masak.


"Makasih ya, Bi," jawabku sambil menerima piring dari mamanya Anjar.


"Kamu harus berterima kasih padaku, Hayr."


"Heh, nggak mungkin lah. Ini kan ibumu yang masak," kilahku tidak mau berterima kasih. Misalkan harus, itu akan kuucapkan pada mamanya Zuhayr.


"Hayr, jadi kapan kamu mau nikahin pacarmu itu?"

Uhuk!


Posting Komentar