Kapan ke Rumah?
Mendengar perkataan yang diucapkan oleh mamanya Anjar membuatku tersedak. Bagaimana tidak? Baru juga jadian tadi siang, malamnya ditanyai kapan nikahnya. Hadeh!
Kuambil air minum yang ada dalam gelas di depanku kemudian
menenggaknya hingga tersisa setengah sebelum menjawab pertanyaan yang
dilontarkan oleh mamanya Anjar.
"Ah, Bibi ini. Zuhayr kan baru jadian tadi siang. Masa
udah langsung diajak nikah," jawabku pelan.
"Buruan, jangan kelamaan kaya si Anjar nanti malah
keburu bosen, kalian belum nikah akhirnya malah putus di tengah jalan,"
celetuk mamanya Anjar sembari tetap menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Aku dan Anjar hanya bisa saling tatap mendengar ucapan dari
wanita paruh baya satu ini. Menikah memang harus disegerakan, tetapi terlalu
terburu-buru juga tidak baik bukan?
"Ya, jangan doakan gitu Bu," ucap Anjar memelas.
"Bukan mendoakan, tapi rata-rata begitu, kan?"
Mamanya Anjar balas bertanya. Sementara aku mendengarkan saja sambil memandang
ke arah keduanya secara bergantian.
"Lihat saja! Zuhayr juga begitu. Hampir sampai
depresi," sambung mamanya Anjar.
Aku terkejut. "Lah kok jadi saya?"
"Ya kan memang begitu," jawab mamanya Anjar lagi.
"Ya deh iya ...." Akhirnya aku mengalah, lagipula
dilawan juga nggak akan menang.
*
Hari berganti hari, aku dan Dian masih Seperti biasa bertemu
dan diselimuti rasa canggung, meskipun sudah tidak terlalu besar.
Sekarang aku juga sedang bersama dengannya, tetapi tempat
nongkrong kami sudah berbeda, bukan di kafe Anin lagi, melainkan di taman
kampusnya.
Selain menjaga hati Anin, aku juga menjaga hati Dian. Biar
mereka berdua sama-sama tenang dan aman.
Tanpa terasa dan aku lupa, hari ini sudah mencapai satu
bulan aku dan Dian menjalin hubungan, tetapi aku belum pernah sama sekali ke
rumahnya, dan aku disadarkan lagi oleh pertanyaan gadis yang ada di sampingku.
"Kak, kapan mampir ke rumah?"
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Ingin menjawab, tetapi
terasa sulit terucap.
"Kok, diam, Kak?" tanya Dian lagi.
"Em ... nanti Hayrulang kamu kuliah, boleh,"
jawabku pada akhirnya.
"Oke, Kak. Nanti pulang kita mampir beli martabak buat
ibuku ya, Kak," ajaknya dengan wajah bersinar dan senyum mengembang.
"Iya ...," jawabku pelan.
Sedikit perasaan lega tebersit di dada melihat dia yang
tidak segundah tadi. Namun, rasa canggung tetap ada, apalagi jika membayangkan
nanti akan ketemu orang tua Dian. Itu membuat rada grogiku bertambah saja,
bagaimana penerimaan dari orang tuanya. Apakah akan menerima, atau akan Seperti
orang tua dan kakek Friska waktu itu.
Entah kenapa, bayangan itu masih ada dan terus menghantui
bahkan aku merasa menjadi trauma tersendiri.
"Kak, aku ke kelas dulu ya, dua jam lagi kita ketemu di
sini," katanya kemudian pergi sembari melambaikan tangan.
Aku balas lambaian tangannya sambil tersenyum, atau lebih
tepatnya memaksa untuk tersenyum.
Kulihat ke arah jam tangan yang aku kenakan, di sana jarum
jam menunjukkan pada pukul 14.30. Rasanya lapar mulai menjalar ke lambung, baru
ingat jika aku sarapan pukul 10.00 dan sampai sekarang hanya minum jus saja
tadi.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kafe Anin untuk makan
siang dan bertemu dengannya, minimal gadis itu tidak menganggap aku
melupakannya dan merasa sakit hati.
Kulajukan motor kesayangan dan menuju tempat favoritku itu.
Sekitar 10 menit berkendara, aku sampai di kafe milik Anin
dan gadis itu langsung menyambutku dengan senyum.
"Hai, Pak Zuhayr. Akhirnya ke sini lagi. Udah lama ga
mampir nih," katanya sambil menggandeng tanganku dan menarikku ke dalam
kafe untuk duduk.
"Iya, nggak ketemu di sini, kita ketemu di sekolah,
kan?" jawabku sambil mengikutinya duduk.
"Iya sih, Pak. Terus sekarang Pak Zuhayr mau makan
apa?" tanya Anin yang sudah duduk di depanku.
"Saya mau makan kamu," kataku iseng.
"Heh! Kok gitu?" Gadis di depanku menaikan nada
bicaranya.
"Maksudnya saya mau makan masakan kamu. Apa aja kalau
kamu yang masak boleh lah," jawabku menjelaskan.
"Oh gitu. Siap!" Dia menjawab sembari menaruh
tangan di dahi seolah sedang hormat. "Minumnya?"
"Yang sekiranya cocok dengan apa yang akan kamu masak
untuk saya," jawabku santai.
"Okey!" Setelah menjawab dia melesat ke dapur dan
mulai memasak.
Aku melihatnya dari tempatku duduk yang berjarak sekitar 5
meter dari tempatnya sekarang.
Kubuka ponsel dan mengecek beberapa notifikasi dari blog,
aku mendapati banyak sekali komentar mendukung, apalagi setelah aku menulis
tentang aku yang telah menemukan seseorang yang aku cintai dan sedikit
melupakan kisah masa lalu. Meskipun masih ada rasa takut yang menghampiri
ketika aku harus bertemu orang tua Dian.
Entah ketakutan yang bagaimana, aku masih belum tau.
Pada akhirnya, keresahan yang aku rasa kutumpahkan sedikit
demi sedikit dalam tulisan. Aku memang bukan pujangga yang dipenuhi kata manis
dalam menuangkan rasa, tetapi kalau untuk sampai ke hati pembaca mungkin bisa,
karena setiap tulisan aku tuangkan sesuai apa yang sedang kurasakan.
"Hei! Ngelamun terooos." Tiba-tiba gadis yang
selalu terlihat ceria itu sudah berada di hadapanku lagi dengan membawa nasi
goreng dan es teh untukku, atau lebih tepatnya untuk kami berdua karena dia
membawa dua piring dan dua gelas.
"Lagi nulis, Anin," jawabku kemudian menyimpan
draft tulisanku.
"Oh, iya Bapak Penulis. Sekarang makan dulu, nanti
lanjut," ucapnya yang kemudian duduk.
Kami berdua makan bersama, masakan Anin memang tidak pernah
gagal; selalu cocok di lidah.
"Pak, gimana hubunganmu sama Kak Dian? Kapan
putus?" tanyanya.
"Uhuk!"
Pertanyaan aneh yang dia lontarkan membuatku tersedak,
apalagi baru saja sesuap aku memakan nasi goreng yang cukup pedas ini.
"Minum, Pak, minum?" Anin mengambilkan minum
ketika aku menepuk tengkuk beberapa kali.
Aku menyedot es teh beberapa teguk. "Kamu ini ada-ada
aja pertanyaannya."
"Ya maksudnya bukan gitu, apa hubungan kalian baik-baik
aja?" tanya Anin lagi.
"Baik-baik aja, nanti sore saya mau ke rumahnya,"
jawabku.
"Ngapain?" Mata gadis di depanku ini membulatkan
matanya dengan sempurna.
"Main."
"Bukan mau ngelamar, kan?" Ucapannya masih saja
dengan wajah yang begitu penasaran.
"Belum waktunya, baru juga sebulan," jawabku lagi.
"Siapa tau Pak Zuhayr ini tipe yang gercep gitu. Kalau
nggak ya Alhamdulillah," jawabnya lagi.
"Belum sekarang."
Mata bulatnya kini menyipit lagi, tidak melotot Seperti
tadi.
"Bagus, deh."
"Ya udah, lanjut makan!"
Aku memulai lagi menyuapkan sendok demi sendok nasi goreng
yang ada di piring hingga semuanya beralih ke perutku dengan sempurna.
"Pak, jangan pulang dulu lah yah, aku masih mau
ngobrol," kata Anin.
"Boleh," jawabku sembari mengelap bibir yang basah
karena baru saja menghabiskan es teh di gelas.
"Boleh foto nggak, Pak?"
Posting Komentar