Diterima

5 min read

 Aku cinta kamu. Tiga kata itu tampaknya berhasil membuat Dian terkejut. Terlihat dari raut wajahnya yang berbeda.


"Maksud kakak apa?" tanya Dian yang sedikit terbata-bata.

Diterima

"Apa ucapanku masih kurang jelas, Dian? Aku cinta sama kamu. So, apakah kamu mau menjadi pacarku?" ujarku dengan to the point.


Mungkin Dian melihat aku sangat gentle, tetapi kenyataannya aku sedang menahan gugup dan berbicara to the point itu karena berusaha menghilangkan kegugupanku.


Aku hanya takut jika aku terlalu banyak berkata-kata maka kegugupanku akan terlihat jelas oleh Dian.


"Jujur ini membuat aku kaget banget, Kak. Aku gak nyangka kamu bakalan ngomong kayak gini," ujarnya lirih tetapi masih terdengar olehku yang memang duduk tidak jauh di dekatnya.


"Tapi aku serius dengan ucapanku, Dian. Mungkin ini bikin kamu kaget, tapi aku bersungguh-sungguh dengan apa yang udah aku utarakan ke kamu barusan. Aku pun udah meyakinkan hatiku sebelum aku mengungkapkan perasaanku ke kamu. Jadi jelas gak ada keraguan sama sekali dengan ucapanku," jawabku dengan lancar.


Ah, aku benar-benar bersyukur karena aku bisa berbicara Hayranjang itu hanya dengan satu kali tarikan napas.


Aku memperhatikan Dian, dia tampak terdiam usai mendengar penjelasanku.


"Jadi apa aku boleh tahu jawabanmu?" tanyaku lagi.


Tampak Dian menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku. Sepertinya ia tengah mengumpulkan keberanian, entah keberanian untuk menerimaku ataupun keberanian untuk menolakku.


Semua sudah aku pasrahkan. Apa pun jawaban Dian akan aku terima dengan lapang dada.


"Jujur, sejak awal aku udah punya perasaan ke Kak Hayr. Tapi mungkin bukan perasaan cinta. Namun, seiring berjalannya waktu dan kita semakin intens bertemu, aku pun mulai merasakan hal yang sama Seperti yang kakak rasakan, sebutlah itu perasaan cinta," jawabnya yang membuatku ingin sekali sujud syukur.


Ah ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan!


"Jadi gimana? Apa kamu menerimaku?" tanyaku menggebu.


"Iya, aku terima Kak Hayr jadi pacarku!" jawabnya sembari malu-malu.


Akhirnya, aku punya pacar lagi!


"Terima kasih, Dian!"


Aku begitu senang hingga tanpa sadar menggenggam tangannya. Aku baru tersadar ketika melihat Dian membeku melihat genggaman tanganku layaknya orang yang baru pertama kali berpacaran.


"Ah maaf, aku terlalu senang, Dian. Sekali lagi terima kasih," ucapku dengan senyum yang tak luntur dari bibirku.


Dian hanya tersenyum tipis lalu menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapanku.


Makanan datang persis ketika aku melepaskan tangan dari Dian. Aku yang masih gugup mencoba menetralkan rasa di depan karyawan Anin.


"Terima kasih," kataku sambil tersenyum seramah mungkin sekalian menutupi kecanggungan.

Meskipun ini bukan kali pertama aku jatuh cinta, tetap saja rasanya beda. Karena nyatanya setelah sekian lama aku baru bisa merasakan kembali apa yang namanya cinta.


Kami berdua mulai menyantap hidangan yang ada di meja sembari mengobrol meski kecanggungan masih ada di antara kami berdua. Entah berapa lama waktu yang kami habiskan di sini hingga tanpa terasa hari sudah sore.


"Kamu ke naik apa?" tanyaku pada Dian.


"Aku diantar anak tanteku. Nanti mungkin naik ojek pulangnya." Dian mulai mengemas ponsel dan laptopnya.


"Ya udah, aku antar aja yah, sekalian pengen tau rumahmu," ucapku mencoba menawarkan tumpangan.

"Enggak usah, Kak. Aku nggak mau ngerepotin," katanya sambil tersenyum manis.


"Nggak ngerepotin kok, kamu kan udah jadi pacarku, nanti kalau udah nikah juga bakalan selalu aku antar jemput ke mana aja," jawabku juga tersenyum.


Setidaknya untuk kisah cintaku kali ini tidak ada yang nama dinding perbedaan kepercayaan.

"Oke deh, Kak. Makasih, ya."


Kami pun mulai beranjak. Aku menaruh uang di meja karena memang sudah hafal dengan harga di kafe ini lalu langsung mengantarkan Dian ke rumahnya.


Aku mengendarai motor kesayanganku bersama Dian menuju ke rumahnya yang ternyata berbeda arah denganku cukup jauh.


"Rumahku jauh ya Kak," katanya di sela perjalanan kami.


"Enggak kok, biasa aja. Aku udah sering motoran ke mana-mana."


"Enak dong, Kak. Bisa lihat pemandangan. Aku kalau ke mana-mana biasanya naik bus," jawabnya.


"Kapan-kapan aku ajak jalan-jalan naik motor, mau?" tawarku sembari melirik ke spion yang sebelah kiri. Spion ini memang sengaja kuarahkan ke arah wajah Dian, sesekali ingin tau bagaimana reaksinya ketika dibonceng.


"Mau, Kak. Tapi nanti setelah perempatan berhenti ya Kak, rumahku di sana."

"Oke."


Semenit berikutnya, kami sampai di perempatan yang dimaksud oleh Dian dan aku pun berhenti di sini.

"Rumahmu yang mana?" tanyaku ketika aku berhenti.


"Ini. Kita pas banget di depan rumahku," jawabnya.


"Oh, iya."


Bersamaan dengan turunnya Dian dari boncengan motor, pintu rumah Dian pun terbuka dan keluarlah seorang wanita yang terlihat seumuran dengan ibuku.


"Aku duluan, ya, Kak." Dian pergi tanpa menawariku mampir, sebenarnya aku juga tidak terlalu ingin, tetapi kenapa dia tidak da basa-basi sekali.


Aku masih mematung di tepi jalan sembari melihat Dian menemui sang ibu dan menyalami tangannya. Seperti ada pembicaraan di antara keduanya, tetapi entah apa hingga membuat Dian kembali lagi padaku.


"Kak, ayo mampir! Ibu ngajak mampir," katanya.


"Enggak deh, udah sore. Aku ada kerjaan lain juga. Kapan-kapan yah. Bilangin sama ibumu."

"Oh, gitu. Oke. Aku duluan, Kak. Assalamualaikum," katanya kemudian berlalu lagi dari sisiku dan masuk ke rumah bersama sang ibu.


"Waalaikumussalam."


Setelah dia masuk ke rumah, aku pun langsung melajukan motor ke arah pulang. Dan sampai di rumah ketika azan Magrib menggema.

*

Baru saja aku merebahkan badan di kasur setelah salat magrib, suara salam menggema di pintu depan dengan suara yang sudah tidak asing lagi buatku. Anjar, siapa lagi.


Dengan sedikit malas, aku pun beranjak lagi dan menuju ke depan untuk membukakan pintu.

"Waalaikumussalam, ada apa?"


"Ini gawat!" seru Anjar.


Kami masih di ambang pintu, aku di dalam dan dia di luar.


Ucapannya membuat aku terkejut saja. Entah apa maksudnya.


"Apanya yang gawat? Masuk dulu deh, ceritanya sambil duduk." Aku pun berjalan ke sofa dengan diikuti oleh Anjar.


Kami berdua sekarang duduk berhadapan, aku sudah siap mendengarkan apa yang terjadi; hal yang Anjar bilang gawat.


"Kamu tadi abis dari kafe Anin?" tanya Anjar.


"Iya, kenapa?" balasku bertanya juga.


"Sama Dian?" Anjar bertanya lagi.


"Iya. Ada apa sih?" Aku makin penasaran dibuatnya.


"Kamu lihat ada Anin di kafe?"


"Enggak tuh. Ada apa sih? Nggak bisa apa langsung to the point aja. Nggak usah basa-basi gitu." Aku akhirnya geram dengan tingkah Anjar kali ini.


"Anin! Kau tau nggak dia kenapa?"


"Enggak. Emang dia kenapa?" Aku agak sedikit panik kali ini.


"Dasar nggak peka!"


"Heh! Anin kenapa? Dia kenapa?"

Posting Komentar