Berpetualang

3 min read

Sudah beberapa bulan ini aku tinggal di Kalimantan, namun hanya seminggu saja aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku merasa tidak nyaman karena mereka terus memaksa aku untuk bekerja, tanpa memperdulikan keadaanku saat ini. Semuanya membuatku pusing dan terkadang aku ingin berteriak sekuat-kuatnya. 

Berpetualang

Mereka seolah-olah menganggap aku sebagai beban, padahal mereka hanya mencarikan aku pekerjaan yang sama sekali tidak sesuai dengan passionku. 


Aku tidak ingin hanya menjadi kaya dan memiliki banyak uang, tapi aku ingin melakukan sesuatu yang membuatku bahagia.


Sebenarnya aku masih belum percaya dengan apa yang terjadi pada hubunganku dan Dian. Semua berawal dari kepergian Dian tanpa kabar. Kupikir dia hanya pergi sebentar ternyata dia menikah dengan yang lain tanpa sepengetahuanku.


Aku merasa hancur dan kehilangan arah hidup untuk kedua kalinya. Tanpa tujuan yang jelas, aku memutuskan untuk berkeliling Kalimantan Timur. Aku merasa bahwa dengan melihat keindahan alam dan budaya Kalimantan, aku bisa menenangkan hati yang sedang patah ini.


"Mau ke mana, Bang?" tanya supir bus yang aku tumpangi.


"Nanti berhenti di terminal, kalau saya masih di bus berarti saya langjut jalan," jawabku kemudian duduk.


Entah akan ke mana lagi kaki ini melangkah, entah bagian kota mana lagi yang akan kunjungi. Entah sebelah mana lagi alam yang menjadi peraduanku.


Aku benar-benar terpuruk. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi setelah kepergian Dian. Padahal, aku seharusnya bisa menghindari hal ini. Aku sudah menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, hanya untuk menghilangkan rasa sakit yang ada dalam hatiku.


Akan tetapi, apa yang aku dapatkan? Hanya tangan kosong dan hidup yang semakin kacau. Aku lupa bahwa aku juga harus memikirkan pengeluaran tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupku, tapi karena terlalu fokus pada keinginan untuk melupakan Dian, aku jadi melupakan hal itu.


"Bang, boleh duduk sini?" tanya seorang perempuan yang berada di sampingku.


"Boleh."


Kulihat dia duduk. Kemudian tersenyum.


Sekarang, aku merasa sangat kehilangan. Aku tidak tahu harus ke mana dan bagaimana cara menjalani hidup ini. Aku tahu bahwa aku harus bangkit dari patah hati ini dan mencari tujuan hidup yang baru, tapi cara itu belum aku temukan. Akankah aku harus memulai dari awal dan belajar menerima kenyataan bahwa Dian sudah bahagia dengan yang lain? Namun, fotonya yang terlihat tidak bahagia terus menghantui otakku.


Aku membuka kembali ponsel dan mengecek beberapa pesan yang ada di WhatsApp. Dari Anin salah satunya.


Dia banyak mengirimiku pesan, yang meskipun nggak aku balas, dia tetap melakukan hal itu.


[Kamu baik-baik di sana. Saya juga baik-baik di sini] balasku pada Anin.


Gadis itu sebenarnya lucu dan menebar keceriaan, tetapi aku telah menganggap dia seperti adikku sendiri.


[Siap, Pak.]


[Panggil Kakak atau Abang aja. Kita kan sudah bukan guru dan murid.] Balasku lagi.


[Panggil sayang boleh?] Jawabnya dengan diakhiri emot menutup wajah.


[Tidak ada yang melarang]


Setelahnya, kututup lagi ponsel dan menyimpannya lagi.


Mungkin, ini adalah saat yang tepat bagiku untuk lebih merefresh otakku, meskipun tanpa terasa kini aku sudah berada di provinsi yang berbeda, di Kalimantan Utara. Siapa tahu, dari sanalah aku akan menemukan jalan hidup yang baru dan lebih baik.


Atau mungkin sedikit pelarian agar aku tidak terus memikirkan masa lalu yang kini harusnya hanya menjadi kenangan.


Aku menatap ke samping, menikmati pemandangan yang aku lewati selama perjalanan. Perempuan di sampingku tadi sudah turun sejak satu jam yang lalu, dan aku juga sepertinya sebentar lagi turun.


Semoga suatu hari nanti aku bisa melupakan Dian dan menerima kenyataan bahwa ia hanya sebatas kenangan yang pernah indah. Meskipun rasa ini masih teruntuk dia.


*

Hari demi hari berlalu cepat. Tanpa terasa sudah 6 bulan aku berada di sini. Berkeliling tanpa adanya tujuan yang jelas selain menenangkan diri di tempat yang tidak ada yang tau siapa aku dan bagaimana masa laluku. 


Hingga pada akhirnya aku hanya dikenal sebagai Zuhayr. Lelaki berusia 25 tahun yang senang berpetualang. Itu saja.


Tanpa terasa hari sudah masuk waktu Zuhur, azan pun terdengar nyaring. Begitu juga dengan perutku yang sudah minta diisi.


Kulangkahkan kaki menuju ke masjid terdekat yang menggemakan azan. Kupikir kesulitan yang aku hadapi saat ini bisa sedikit tercerahkan dengan sholat tepat waktu. Aku percaya bahwa setiap kesulitan pasti akan ada jalan keluarnya. Semoga aku bisa menjadi lebih baik lagi setelah semua ini.


Setelah sholat, aku membuka ponsel dan terkejut melihat ada pemberitahuan dari Gmail. Ternyata masih ada penghasilan dari blogku. 


Aku sedikit tersadar jika Allah Maha Baik. Baru saja bilang jika aku lapar dan sudah tidak punya uang langsung dikabulkan bahkan ini terasa terlalu cepat.


Di masjid sedang ada bagi-bagi makanan setiap hari Senin dan aku gajian lagi dari blog. Sepertinya aku sudah tidak boleh seperti ini terus. Terlalu banyak waktu dan uang yang aku habiskan tanpa ada hasil.


Segera aku tersadar bahwa aku tidak boleh terus merasa putus asa dan harus bangkit lagi. Masih banyak hal yang harus aku perjuangkan.


Tanpa ragu, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Berjalan dari masjid hingga ke terminal, itulah yang aku lakukan karena memang belum ada uang cash. 


Sesampainya di terminal, aku langsung ambil uang di ATM dan memesan bus untuk pulang.


Jika ditotal seluruhnya, aku berada di Kalimantan sudah hampir 1 tahun, dan dua minggu lagi adalah pergantian tahun ke 2020. Aku ingin merayakan tahun baru bersama keluarga.


Di dalam hati ini terasa ada yang menyejukkan dan ada hasrat yang membuatku harus pulang. Entah apa, tapi aku memang harus pulang saat ini juga.


Ketika aku membuka ponsel ada chat dan ratusan panggilan dari sepupuku.


[Kak, pulang! Urgent!]


Itu yang dikirimkan oleh sepupuku. Kubalas [Ada apa? Aku lagi jalan pulang]


[Pokoknya pulang]


Tidak kubalas lagi karena memang sedang dalam perjalanan pulang. Kira-kira ada apa ya?

Posting Komentar