Risih

"Karena sudah terlalu lelah akhirnya Zuhayr pun terlelap. Namun, dalam tidurnya lagi-lagi ia tidak menemukan ketenangan. Bayang-bayang Friska menikah d"

4 min read

Sebenarnya Zuhayr sedikit risi, karena sedari awal memasuki kafe itu, tatapan mata para perempuan di sana seakan ingin menerkam mereka. Zuhayr bukanlah lelaki jelalatan yang akan senang saat diperhatikan Seperti itu. Ia hanyalah laki-laki yang terlalu setia pada satu wanita, hingga menjadikan Zuhayr seakan mati dibuatnya.



"Kok, kopinya ini?"


"Kamu kenapa, Hayr?" Anjar sadar jika temannya itu tidak nyaman, bahkan bisa dibilang risi. 


"Nggak kenapa-kenapa, cuma agak kurang nyaman sama cewek-cewek yang dari tadi natap ke arah kita terus," jawab Zuhayr.


"Santai bro, nikmati aja. Kapan lagi dilirik sama cewek cantik, kan? Siapa tau nanti kamu dapet salah satu di antara mereka," canda Anjar.


"Nggak tertarik!" tegas Zuhayr.


"Emang secantik apa cewek yang kamu temui selama menempuh pendidikan di sana?" tanya Anjar.


"Cantik, nggak ada tandingan," jawab Zuhayr seolah menjelaskan betapa berartinya Friska baginya.


"Iya deh, aku percaya aja," final Anjar hingga akhirnya kopi pesanan mereka pun tiba.

*

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WITA dan Zuhayr baru saja tiba di rumahnya setelah tadi mengantarkan Anjar. Mereka yang awalnya hanya berniat ngopi sambil cerita-cerita, pada akhirnya malah mengelilingi kota kelahiran Zuhayr itu.


"Huh capek banget!" lirih Zuhayr sembari merebahkan tubuhnya di ranjang.\


Karena sudah terlalu lelah akhirnya Zuhayr pun terlelap. Namun, dalam tidurnya lagi-lagi ia tidak menemukan ketenangan. Bayang-bayang Friska menikah dengan laki-laki lain bahkan selalu menari-nari di alam mimpi Zuhayr hingga pria itu terbangun.


"Susah sekali mendapat ketenangan, arghhhh!" Zuhayr sangat frustrasi dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Lelaki itu bahkan menyalahkan takdir yang tidak mempersatukan dia dan Friska dalam ikatan suci bernama pernikahan.


Minuman dan rokok. Hanya itu yang memberi sedikit energi untuk Zuhayr melupakan Friska sejenak. Hal itu Zuhayr lakukan setiap malam dengan diiringi musik dengan suasana kamar yang begitu berantakan. Ia akan tertidur saat minuman beralkohol itu membuatnya mabuk. Terkesan berlebihan, tapi itulah kenyataannya.


Satu minggu pun berlalu, Zuhayr masih terus saja mengurung diri di rumah. Ia bahkan sering menolak ajakan Anjar untuk sekadar jalan keluar atau main ke rumahnya.


Seperti siang ini, Anjar kembali datang ke rumahnya. Zuhayr dapat menebak jika temannya itu akan mengajaknya keluar Seperti biasanya.


"Ada apa sih, Njar? Aku lagi nggak mood jalan keluar," ujar Zuhayr tanpa membiarkan Anjar lebih dulu menyampaikan maksud dan tujuannya.


"Aku ke sini bukan ngajak kamu keluar!"


"Trus mau ngapain?" tanya Zuhayr.


"Makanya dengerin dulu. Aku ke sini mau ngajak kamu nyari kerja. Mau sampai kapan kamu ngegalau mulu di rumah. Mending kita nyari kerja soalnya ibumu kemarin menelepon mamaku untuk menanyai kondisimu. Untung aja aku nggak keceplosan bilang ke mamaku kalo kamu lagi putus cinta," ucap Anjar.


Ya, Anjar memang sudah tahu cerita putus cinta yang dialami oleh Zuhayr. Anjar adalah orang yang sangat peka, hingga ia bisa mengetahui jika Zuhayr tidak baik-baik saja. Karena tidak ingin diintrogasi lebih jauh, akhirnya mau tak mau Zuhayr pun cerita sebagian kecil dari kepahitan yang dia alami.


"Jangan sampai ibuku tau. Aku lagi nggak mau nyari kerja, nanti-nanti aja!"


"Terus sampai kapan kamu akan terpuruk begini? Kamu nggak mungkin bertahan Seperti ini terus, Hayr. Kalo bukan kamu yang belajar untuk sembuh, trus siapa lagi? Ini udah saatnya, udah cukup patah hatinya," nasihat Anjar.


"Semuanya nggak semudah itu, Njar," jawab Zuhayr.


"Susah ngomong sama orang yang lagi putus cinta!"


Usai ajakan dan sarannya ditolak oleh Zuhayr, Anjar pun memilih pulang begitu saja. Pria itu paham bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk berbicara pada Zuhayr, karena hatinya masih tertutup dengan luka karena cinta.


Zuhayr pun kembali ke kamarnya yang begitu berantakan, tak ada niat untuk membersihkan segala hal yang berserakan itu. Berbagai macam barang seakan bertumpuk dalam kamarnya, belum lagi botol minum dan abu rokok yang bertebaran di mana-mana, ditambah dengan baju-baju kotor yang belum ia cuci. Hal itu semakin membuat Zuhayr pusing, tetapi laki-laki itu lebih memilih kembali tidur di tempat penuh sampah itu.


Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WITA dan Zuhayr baru bangun dari tidurnya, itu pun karena rasa lapar yang tidak tertahan. Sebenarnya mama Anjar sering mengantarkan makanan ke rumah, tetapi makanan itu hanya berakhir di tong sampah karena Zuhayr sama sekali tidak berselera. Kalaupun ia makan, itu pun terpaksa karena ditunggu oleh mama Anjar atas permintaan ibunya.


Seperti sore ini, pintu rumah Zuhayr kembali diketuk. Zuhayr bangkit dari ranjangnya dan keluar untuk melihat siapa yang bertemu. Jika tadi anaknya, maka sekarang adalah mamanya, yang tak lain adalah mama Anjar.


"Loh, kamu baru bangun, Hayr?" tanya mama Anjar.


"Iya, Bi. Lagi nggak enak badan," jawab Zuhayr.


"Kamu kok sering banget kurang enak badan, Hayr? Sebenarnya kamu baik-baik aja kan? Apa kamu udah periksa ke dokter?" tanya mama Anjar beruntun.


"Ini cuma kurang enak badan, Bi. Saya bukan sakit parah ataupun demam, jadi nggak perlu ke dokter. Nanti juga sembuh dengan sendiri," jawab Zuhayr.


Ya gimana mau ke dokter, sedangkan dokter saja tidak punya obat penawar untuk patah hati. Patah hati hanya dapat disembuhkan oleh yang mengalami langsung, harusnya Zuhayr tahu itu, tetapi ia lebih memilih terpuruk hingga tidak memedulikan kesehatannya sendiri.


"Mungkin karena kamu jarang makan kali."


"Aku makan kok, Bi. Bibi kan selalu anter makanan ke sini," jawab Zuhayr. Memang Zuhayr selalu diantarkan makanan oleh mama Anjar, hal itu terjadi atas permintaan ibunya.


"Kamu kira Bibi nggak tau kalo kamu sering buang makanannya ke tong sampah? Udah deh, kamu jangan bohong. Kamu itu kenapa? Putus cinta? Kalo putus cinta jangan sampai terpuruk gini, setidaknya jangan mengorbankan diri sendiri."


Ucapan mama Anjar membuat Zuhayr terdiam. Ia sudah tidak punya alasan untuk menjawab ucapan wanita paruh baya itu.


"Iya, Bi. Maafin Zuhayr."


"Ya sudah sekarang kamu makan. Bibi nggak mau kalo nanti kamu buang makanannya lagi," ujar mama Anjar.


"Iya, Bi."


"Ya sudah kalau begitu Bibi pulang dulu."


Usai kepergian mama Anjar, Zuhayr pun kembali masuk ke rumahnya dan menutup pintu. Ia mulai membersihkan wajahnya yang baru bangun tidur, barulah setelah itu ia menyantap makanan yang diantar mama Anjar tadi, karena memang ia sudah sangat lapar.


Setelah makanan itu tandas, Zuhayr mencuci piringnya. Bukan karena dia ingin, tetapi dia tidak enak jika mamanya Anjar datang lalu melihat wastafel yang berantakan kemudian mencucinya. Jadi hal yang paling aman adalah mencuci piring itu dan segera mengembalikannya.


Setelah itu tidak lama kemudian, ponsel Zuhayr yang ada di kamar berdering. Sebenarnya dia malas sekali menerima telepon, tetapi dia khawatir jika itu penting.


"Siapa sih, pakai nelfon segala?" gumam Zuhayr yang kemudian melangkah menuju ke sumber suara.

Posting Komentar