Pertemuan Pertama

3 min read

Teriakan itu tidak aku hiraukan. Anggap saja ini pembalasan dengan sikapnya yang menyebalkan selama ini. Sesekali gantian aku yang mengerjainya setelah selama ini dia selalu membuatku repot.


Aku mengendarai motor Anjar melintasi jalanan di dengan kanan kiri bangunan yang cukup rapat. Entah itu rumah, kantor, toko dan lain sebagainya. Aku yang biasanya hanya membonceng sekarang mengendarai motor sendiri dan pergi dengan kemauan sendiri.

Pertemuan Pertama

Aku baru sadar jika jalanan di sini sudah banyak berubah sejak aku terakhir kali mengendarai motor sendiri melintasi jalanan ini.


Beberapa murid juga aku temui di Hayranjang jalan, karena memang aku tidak memakai helm sekarang.


"Pak Zuhayr!"


"Halo, Pak Hayr!"


"Selamat sore, Pak Zuhayr."


Begitulah sapaan mereka yang dihiasi dengan senyum yang begitu manis dari wajah-wajah itu. Semuanya ramah, entah perempuan atau laki-laki. 


Sekitar lima belas menit berlalu, aku sampai di parkiran kafe. Sebelum masuk, kusempatkam untuk mengecek chat. Siapa tau ada pesan masuk.


Dan benar saja, ada pesan dari Dian.


[Kak, aku udah di kafe ya, bagian pojok.] 


Tanpa aku balas, langsung kulangkahkan kaki memasuki kafe yang sudah biasa aku kunjungi bersama Anjar. Karena memang aku telah mengenal waiters di sini aku pun langsung memesan kopi hitam dan beberapa camilan karena kulihat di sudut sana Dian telah menunggu dengan secangkir minuman.


"Hai, Pak Zuhayr!" Tiba-tiba ada seorang suara perempuan yang menyapa. Ketika aku menoleh ke arahnya, ternyata dia salah satu siswi yang kerap kali menyapaku di sekolah.


"Halo, Anin. Kamu di sini?" tanyaku mencoba seramah mungkin.


Dia langsung berdiri. "Pak Zuhayr! Ayo duduk dengan saya," pintanya.


"Maaf, Anin. Saya ada janji dengan teman saya." Aku menjawab seadanya karena itulah yang terjadi.


"Teman atau pacar?" katanya sembari menahan tawa. Sepertinya dia tengah mengejekku.


"Klien lebih tepatnya." 


"Oke, deh, Pak! Nanti kalau kelar aku boleh gabung ya?" 


Aku mengangguk lalu menjawab, "Dengan senang hati. Silakan."


"Have fun, Pak!"


Ucapannya kali ini hanya aku tanggapi dengan sebuah senyuman, kemudian aku berlalu meninggalkan gadis itu menuju ke meja di mana Dian telah menunggu.


"Assalamualaikum, udah lama?" tanyaku kemudian duduk.


"Waalaikumussalam, belum kok, Kak." 


"Syukur deh, kalau belum." Aku menghela napas lega karena tidak membuatnya menunggu lama.

"Kakak udah pesan?" tanya dia lagi.


"Sudah, paling sebentar lagi dateng." 


Kami duduk berhadapan ternyata yang ada di cangkirnya adalah kopi capuccino, tercium sekali dari baunya yang khas.


"Syukur deh, saya nggak pesenin soalnya nggak tau apa kesukaan Kakak." 


Setelahnya kami terdiam karena pesananku datang. Sampai sini aku masih canggung entah apa yang harus aku katakan untuk memulai menjelaskan semuanya.


Oleh sebab itu, aku memilih untuk menyeruput kopi yang jelas-jelas masih panas dan aku tau itu. Namun, aku mencoba tidak merasakan apa-apa dan aku juga mengambil kentang goreng yang tadi aku pesan untuk menghindari yang namanya mati gaya.


"Kak?" Panggilan itu membuatku menatap ke arahnya.


"Iya?" Aku menjawab masih dengan menggigit kentang yang belum putus.


"Gimana udah bisa mulai jelaskan fitur yang ada di blog?" katanya lagi.


"Bisa, tapi kayaknya satu fitur dulu ya, karena pasti waktunya sempit. Karena banyak yg harus dijelaskan." 


"Boleh, Kak. Saya harus gimana?" Dia mulai bertanya lagi.


"Biar enak, kamu yang ke sini atau saya yang ke sana?" tanyaku pada Dian.


"Eum ...." Dia tidak menjawab. Entah apa yang ada dalam pikirannya

.

"Maksudnya kan kalau hadapan begini, sulit. Kita harus di arah yang sama biar mudah jelasinnya," kataku menjelaskan. Ya sedikit banyak aku tau kenapa dia bingung. Mungkin karena canggung dengan orang baru.


"Maaf, Kak. Saya aja yang ke situ." Dia menjawab dengan cepat dan sedikit gugup. Ya, aku memang tau. Itu sangat terlihat dari wajahnya yang sedikit memerah.


Dia bergegas menggeser minuman dan makanan kami ke sebelah kananku dan mengeluarkan laptop dari tas yang dia bawa. Dia beralih ke sebelah kananku dan mengaktifkan laptop, sedangkan aku hanya memperhatikan

"Udah, Kak, terus gimana?" tanyanya setelah laptop dalam keadaan aktif dan siap dioperasikan.


"Kamu log in ke blog kamu. Masih ingat kan caranya?" 


Dia tidak menjawab, melainkan hanya menganggukkan kepalanya pertanda dia masih ingat. "Udah, Kak," katanya sesaat setelah dia log in.


"Nah kita bahas mulai bagian ini ya?" Aku menunjuk salah satu ikon di sana dan dia hanya mengangguk.


Aku jelaskan dengan terperinci apa saja yang dimaksud dan kegunaan dari fitur ini. Namun, entah apa yang dia lakukan sebelumnya hingga di tengah aku menjelaskan, cangkir kopiku jatuh dan menimbulkan suara yang nyaring karena pecahan cangkir tersebut.


"Astaghfirullah!" pekiknya terkejut. Aku pun sama terkejutnya dengan dia karena kami sedang fokus dengan penjelasan.


"Maaf, Kak!" serunya kemudian beralih dan membersihkan pecahan cangkir. Juga dibantu oleh para waiters yang langsung datang menghampiri kami berdua.


"Nggak apa-apa," jawabku mencoba tersenyum.


Namun, ketika aku mulai hendak menjelaskan kembali, kali ini ponselku berdering. Langsung saja aku melihatnya. Anjar.


Baru saja kuangkat, suaranya langsung terdengar berteriak. "Heh, ini motormu udah selesai! Cepetan balik!"


"Eh, bentar. Aku belum kelar ini. Kenapa nggak kamu bayar dulu terus ke sini," ucapku meminta.


"Kamu nih emang! Udah ditolong malah ngelunjak. Ish!" Dia Sepertinya kesal dan langsung mematikan ponselnya.


Namun aku tau, kalau dia emang bakal bayarin dulu. 


"Maaf ya, Kak." Suara itu terdengar lagi. 


"Iya, nggak apa-apa."


"Kakak udah ditungguin sama temen Kakak ya? Ya udah kalau gitu aku pulang duluan ya, Kak. Ini kopi sama camilan Kakak biar saya yang bayar, soalnya udah saya pecahin sama tumpahin," katanya dengan intonasi yang cepat.


"Eum, ga usah, saya—" 


"Nggak apa-apa, Kak. Makasih ya. Assalamualaikum." 


Belum sempat aku melanjutkan ucapan dia sudah memotongnya terlebih dahulu, tapi ya sudah lah, kan dia yang mau.


"Waalaikumussalam, makasih ya," jawabku.


Lalu dia pergi. Sementara aku duduk lagi

.

Ponsel berdering. Menandakan sebuah pesan kali ini yang berisi sebuah foto nota senilai 780.000 sebagai biaya bengkel tadi dan sudah dibayar oleh Anjar.


Huuft! Mahal juga.


"Hai, Pak Zuhayr!"

Posting Komentar