Permintaan maaf

"Baru saja aku hendak berjalan ke dapur, pintu rumah pun diketuk. Aku yakin itu adalah Anjar, sehingga aku menyuruhnya untuk masuk saja."

4 min read

Aku tiba di rumah hampir malam, begitu juga dengan Anjar karena kami beriringan. Aku langsung pulang ke rumah. Malam ini Anjar berencana akan menginap di rumahku untuk menonton bola bersama.

Permintaan maaf

Sebenarnya kami tidak terlalu hobi menonton bola, tetapi makanan yang diberikan Anin tadi terlalu banyak untuk dihabiskan sendirian saja. Jadilah kami berdua memutuskan untuk menghabiskan makanan itu sembari menonton.


"Hayr aku pulang ke rumah dulu ya, mau mandi dulu," ujar Anjar menghampiri gerbang rumahku menggunakan motornya.


"Ya sudah, aku gak mau rumahku bau karena kamu gak mandi," candaku.


"Dasar!" Anjar pun langsung menuju rumahnya dan aku pun memasuki rumah setelah memarkirkan motor.


Setelah memasuki rumah, aku langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Aku sudah terlalu gerah meskipun sebenarnya tidak baik mandi di jam segini, tapi mau bagaimana lagi aku benar-benar tak nyaman.


Hanya membutuhkan waktu Hayruluh menit saja, aku pun sudah selesai mandi dan berganti baju. Aku lalu keluar dari kamar untuk memindahkan makanan yang diberi Anin tadi ke wadahnya.


Tok! Tok!


Baru saja aku hendak berjalan ke dapur, pintu rumah pun diketuk. Aku yakin itu adalah Anjar, sehingga aku menyuruhnya untuk masuk saja.


"Masuk aja, Njar! Aku lagi di dapur!" ucapku dengan suara sedikit keras agar terdengar.


"Gimana mau masuk kalo pintunya dikunci!" pekik Anjar yang aku rasa ia tengah kesal.


Hahah! Aku benar-benar lupa jika pintu rumah aku kunci. Haduh, ada-ada saja.


"Sebentar!" teriakku sembari berjalan menuju pintu.


Ceklek!


Pintu pun terbuka dan di hadapanku tengah berdiri Anjar yang sedang sibuk menggerutu.


"Aneh-aneh aja nyuruh orang masuk tapi rumahnya dikunci," sindir Anjar lalu menyelonong masuk ke rumahku.


"Ya maaf aku kan lupa," ujarku sembari cengengesan yang membuat Anjar semakin kesal.


"Ya sudah mana makanan dari si manis tadi?" tanya Anjar.


"Namanya Anin bukan Manis," jawabku singkat.


"Aku bilang dia manis bukan namanya Manis!" jawab Anjar.


"Jangan gangguin anak orang!" 


"Ya siapa juga yang mau gangguin, orang aku cuma bilang dia manis? Emang di mana salahnya?" 


"Ga tau," jawabku sembari berjalan ke dapur untuk mengambil makanan yang diberi Anin pada kami tadi.


"Nyebelin!"


*

Makanan yang tersedia sudah habis dan Anjar tengah sibuk menonton bola. Karena aku bukan salah satu pecinta bola, aku memilih membuka handphone tepatnya aplikasi hijau bernama WhatsApp. Terdapat beberapa pesan, salah satunya dari Dian. Aku pun memilih membuka pesan WhatsApp dari Dian terlebih dahulu.


[Kak Hayr maaf ya atas kejadian tadi siang.]


Begitulah pesan yang dikirim oleh Dian. Padahal aku tidak mempermasalahkan kejadian tadi siang, apalagi itu hanya ketidaksengajaan.


[Tidak apa-apa, Dian. Jangan merasa bersalah begitu.]


Pesan yang baru saja terkirim langsung centang dua biru tanda Dian sudah membacanya, bahkan sekarang ia sedang mengetik. Wah, gercep juga anak ini!


Ternyata dia membalas pesanku dengan ucapan terima kasih. Dia juga membahas tentang keinginannya untuk belajar lebih dalam lagi tentang dunia blog.


Aku pun mengiyakan karena aku tidak mempunyai keinginan untuk kikir ilmu. Setidaknya jika aku tidak bisa berbagi secara materi, aku bisa membagikan ilmu yang aku punya kepada orang lain.


[Atur saja jadwalnya, Dian. Nanti kalo aku kosong dan kamu pun tidak ada kesibukan, kita bisa belajar lagi.]


Dian pun mengiyakan pesan dariku. Namun, saat aku hendak menutup aplikasi whatsapp, tiba-tiba ada notif baru tetapi bukan dari Dian.


Aku tidak tahu siapa karena yang menghubungiku itu menggunakan nomor baru. Dengan penasaran, aku pun membuka pesannya.


Oh ternyata gadis tangguh itu.


[Halo Pak Hayr, ini WA Anin. Jangan lupa save ya, Pak!]


Ya, gadis tangguh yang aku maksud adalah Anindya. Aku benar-benar salut dengannya, meskipun ketika mengobrol di kafenya aku tidak terlalu menanggapi. Namun, bukan berarti aku tidak peduli. Aku hanya bingung harus menanggapi Seperti apa, sedangkan kami baru bertemu. Rasanya aku segan jika memberi nasehat pada gadis yang sekarang menginjak kelas 12 dan hampir tamat itu.


Aku pun membalas pesan Anin dengan sewajarnya. Bagaimanapun juga aku harus memasang image baik di depan Anin yang memanggilku bapak tanda ia juga menganggap aku gurunya.


[Halo juga, Anin. Siap, akan saya save.]


Pesan terkirim dan langsung dibaca oleh Anin. Kemudian terlihat ia kembali mengetik.


[Gimana makanan di kafe tadi, Pak? Apakah enak dan sesuai selera?]


Ah ternyata dia meminta penilaianku.


[Sangat lezat, Anin. Makanya kami selalu menjadi pelanggan setia di kafemu.]


Ya, memang begitu adanya. Menu di kafe Anin sangat sesuai dengan seleraku. Bahkan makanan yang kami bawa pulang tadi dengan waktu sebentar sudah habis.


Tidak hanya aku, Anjar juga mengakui cita rasa makanan lezat itu.


[Syukurlah kalau Bapak suka. Jangan pernah bosen ke kafe saya ya, Pak!]


[Tentu saja kami akan sering-sering ke sana, Anin. Apalagi tadi kami sudah mendapat makanan gratis dari ownernya langsung!]


Kami pun berlanjut mengobrol di chat WhatsApp. Bahkan karena larut dalam obrolan itu, aku sampai tidak sadar jika Anjar sudah terlelap. Aku baru sadar saat ada nyamuk yang menggigitku karena memang kami menonton bola melalui televisi yang terletak di ruang tamuku.


Sudah hampir sekitar setengah jam aku berbalas pesan dengan Anin, hingga obrolan kami berakhir saat Anin pamit untuk bersiap-siap menutup kafenya.


Aku pun berniat untuk keluar di aplikasi berwarna hijau itu, tetapi lagi dan lagi terhenti karena ada pesan baru dari Dian.


Pesannya berisi pertanyaan apakah aku bisa mengajarinya besok. Aku pun menjawab bisa karena besok aku tidak banyak pekerjaan.


[Kak Hayr benar gak banyak kerjaan besok? Aku gak enak kalo ngerepotin kakak terus.]


Aku pun menjawab tidak masalah, lalu aku pun menanyakan tempat kami bertemu besok.


"Apakah kita akan belajar di kafe tadi lagi?" tanyaku pada Dian


"Boleh request di taman aja gak, Kak? Aku takut kejadian yang tadi terulang lagi. Aku ceroboh banget soalnya," jawab Dian.


"Ya sudah kalau begitu, besok kita bertemu di taman ya. Aku bisanya sore, apakah tidak masalah?" tanyaku.


"Gapapa, Kak," jawab Dian.


Aku pun membalas pesan Dian dengan emoticon jempol. Lalu obrolan kami pun berakhir begitu saja dan aku memilih menutup ponselku. Aku harus tidur untuk mempersiapkan diri menghadapi hari esok.


Eughh!


Aku pun menoleh ke arah Anjar yang terbangun dari tidurnya.


"Sekarang jam berapa, Hayr?" tanya Anjar.


"Jam 10 malam," jawabku.


"Aku pulang ke rumah aja, Hayr," jawabnya.


"Kenapa gak tidur di sini aja? Lagian kamu udah ketiduran tadi, lanjut aja di kamar," jawabku.


"Gak deh, aku pulang aja. Soalnya mamaku sendirian di rumah," jawab Anjar.


"Ya sudah kalau begitu."


Posting Komentar