Pekerjaan Baru, Hidup Baru

"Merasa mendapatkan kesempatan, aku pun langsung memfoto lowongan pekerjaan yang ditempel itu, lalu membacanya dengan seksama."

4 min read

Rumah harusnya menjadi tempat ternyaman karena di sanalah kita tinggal dan menetap. Namun, rumahku justru begitu berantakan dengan sampah yang berserakan di mana-mana. Orang-orang bilang jika laki-laki dianggap biasa memiliki rumah yang kotor, tetapi rumahku jauh dari kata kotor, melainkan sudah Seperti kandang kambing yang tak terurus.


Itu semua terjadi karena patah hatiku yang membuat moodku sangat berantakan. Dua bulan hanya aku habiskan dengan berdiam diri, selain rumahku, penampilanku juga tak karuan. Bulu-bulu halus sudah memenuhi area wajahku. Namun, tidak pernah aku pedulikan.

Pekerjaan Baru, Hidup Baru

Hingga aku tergugah untuk membersihkan kekacauan yang selama dua bulan ini aku perbuat, beruntung ada Anjar yang membantuku. Saat membersihkan rumah, tiba-tiba muncul keinginan untuk bekerja. Hingga dengan refleks aku mengatakan itu pada Anjar, tetapi reaksi temanku itu di luar dugaanku. Dibanding menjawab pertanyaanku, dia lebih memilih larut dalam keterkejutannya.


Sampai sekarang aku telah berdiri di dalam sebuah kafe yang juga dia tunjukkan padaku. Sekarang aku juga mencoba untuk melamar pekerjaan di sini.


"Permisi, Pak. Apakah saya bisa bertemu dengan manager atau owner dari kafe ini?" tanyaku pada seorang laki-laki yang aku tebak umurnya sekitar 30 tahunan. Sedari tadi aku perhatikan, ia sibuk mengarahkan waiters kafe tersebut sehingga aku berpikir bahwa dia adalah bagian dari kafe tersebut. Itulah kenapa aku memilih bertanya padanya.


"Iya, ada apa ya? Kebetulan saya manager di kafe ini," jawabnya. Ah, kebetulan sekali. Semoga ini benar-benar rezekiku.


"Jadi begini, Pak. Kemarin saya mendapat informasi jika di kafe ini membuka lowongan pekerjaan. Jadi tujuan saya datang ke sini adalah untuk melamar pekerjaan, Pak. Saya juga sudah membawa berkas-berkasnya," ujarku.


Memang kata Anjar tidak perlu berkas-berkas, tetapi aku tetap membawanya karena siapa tahu itu akan membantuku.


"Ah iya, benar. Satu minggu yang lalu kami membuka lowongan pekerjaan untuk lima orang. Tapi sudah tutup karena sudah ada orangnya, baru kemarin mereka datang dan hari ini mulai bekerja."


"Oh, baik, Pak. Kalau begitu saya pamit, terima kasih sebelumnya."


Ucapan laki-laki yang mengenakan kemeja hitam dan celana panjang hitam itu benar-benar berhasil mematahkan semangatku. Aku terlambat dan itu hanya sehari. Berbagai andai terpikir olehku, andai saja aku datang lebih awal, andai saja aku tidak menghabiskan waktu dua bulan untuk terpuruk, mungkin sekarang aku sudah mendapat pekerjaan.


Dengan kekecewaan, aku pun pamit untuk pergi dari kafe itu. Namun, saat dalam perjalanan menuju rumah aku melihat sebuah lowongan pekerjaan yang ditempel di pohon-pohon. Dari sekian banyak lowongan kerja yang aku lihat, langsung aku datangi satu per satu.


Entah karena memang belum rezeki, atau Allah sedang menegur atas semua waktu yang pernah kusia-siakan hingga sampai hampir pukul 14.00 aku masih belum ada tanda-tanda tentang pekerjaan.


Kini aku tengah duduk di warung pinggir jalan untuk sekedar melepas dahaga. Ketika aku iseng membuka sosial media ada sebuah iklan yang isinya lowongan pekerjaan yaitu menjadi tenaga administrasi Tata Usaha di sebuah sekolah yang letaknya pun tidak jauh dari rumahku.


Merasa mendapatkan kesempatan, aku pun langsung memfoto lowongan pekerjaan yang ditempel itu, lalu membacanya dengan seksama.


Di sana tertera harus membawa berkas-berkas dan minimal pendidikan tidak harus Sarjana. Aku pun langsung memutuskan untuk berangkat ke sekolah itu daripada kedua kalinya aku didahului oleh orang lain.


Sekolah menengah atas itu tampak ramai dengan siswa-siswinya yang aku tebak saat ini sedang istirahat pertama. Setelah bertanya pada satpam, aku langsung menghadap kepala sekolah.


"Selamat! Kamu diterima bekerja di sini. Sekarang kamu resmi menjadi bagian dari SMA ini!"


Ucapan laki-laki paruh baya dengan seragam guru itu membuatku tersenyum semringah.


Ya, aku diterima bekerja di SMA itu sebagai tenaga administrasi Tata Usaha. Ini bukan hal sulit bagiku, apalagi kepala sekolah itu sempat mengatakan bahwa akan ada yang membimbingku untuk mempelajari semua sistemnya.


"Terima kasih atas kepercayaannya, Pak," jawabku.


"Sama-sama. Besok kamu sudah bisa mulai bekerja," ujar laki-laki bertubuh tinggi tegap meskipun usianya tak lagi muda.


Aku pun mengiakan ucapannya, lalu setelah itu pamit pulang. Sebelum benar-benar pulang ke rumah, aku lebih dulu mampir ke rumah Anjar untuk memberikan kabar bahwa aku sudah diterima bekerja.


"Anjarnya ada, Bi?" tanyaku pada mama Anjar yang tengah membersihkan tanaman di depan rumahnya.


"Ada di dalam, masuk aja, Hayr," ucapnya padaku.


"Siap, Bi." Aku pun memasuki rumah Anjar menuju kamarnya karena memang kami sudah Seperti keluarga dekat.


Karena pintu kamarnya tertutup, aku berinisiatif mengetuknya lebih dulu.


"Loh, Hayr? Dari mana aja, kok tadi pagi aku ke rumahmu kamunya nggak ada?" tanya Anjar.


"Bukannya kamu yang kemarin kasih info lowongan pekerjaan, ya jelas aku pergi buat nyari kerja lah," jawabku.


"Wah iya yah, aku malah lupa. Terus gimana hasilnya? Kamu diterima kerja di kafe kemarin?" tanya Anjar yang kembali mengingatkan aku pada penolakan di kafe tadi.


"Aku nggak diterima di kafe itu, Njar. Katanya sudah penuh," jawabku.


"Ah nggak apa-apa, nanti aku bantu nyari lagi. Jangan berhenti berusaha dulu," ujar Anjar.


"Tapi sekarang aku udah dapet kerja," ucapku.


"Loh, di mana?" tanya Anjar kaget.


"Aku tadi mendaftar di SMA dekat sini sebagai tenaga administrasi dan aku diterima," jawabku dengan semringah.


"Ah syukurlah. Selamat bekerja kawan!"

*

Aku sedang bersiap-siap menuju sekolah tempatku bekerja. Aku memasak sarapan pagi sendiri, pun membersihkan rumahku agar terlihat rapi. Setelah semua beres, barulah aku berangkat mengendarai motor kesayanganku karena memang hanya satu-satunya.


Hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Itu artinya hari ini aku harus kembali menata hidup dengan lingkungan dan suasana yang baru.


Dengan penuh semangat baru, aku men-starter motor kesayanganku.


Sekali. Dua kali. Tiga kali.


Kini berpuluh kali sudah aku mencoba menghidupkan motor ini, tapi sayangnya tidak ada hasil. Bahkan aku sampai cek oli, busi, bensin dan lain sebagainya. Nyatanya masih saja belum bisa dinyalakan.


Akhirnya aku memilih jalan kaki menuju ke sekolah karena memang jarak bengkel dari rumahku cukup jauh jadi daripada aku harus ke bengkel terlebih dahulu, aku lebih memilih berjalan ke sekolah. Hitung-hitung olahraga.


Baru saja memasuki gerbang SMA, aku sudah dipandangi oleh mata-mata yang seolah berdecak kagum menatapku. Bukan karena aku kepedean, tetapi aku dapat melihat sendiri dengan mata kepalaku tatapan para perempuan yang seolah memuja.


Aku pun berjalan menuju ruang tata usaha. Dalam perjalanan ke ruang TU, mata yang tadi menatapku kagum masih belum memiliki keinginan untuk mengalihkan tatapan mereka. 


Bahkan, ada di antara mereka yang menghampiriku dan menanyai siapa aku dan kenapa aku ada di sekolah mereka.


Aku jawab saja sejujurnya lalu memilih pamit dan menghindari mereka. Karena aku hanya ingin bekerja dengan benar tanpa membalas tatapan dan godaan-godaan para siswi itu. 


Setiap ucapan mereka hanya aku balas dengan senyum, atau bahkan kadang tidak aku respons sama sekali. Aku menjaga sikap di sini, karena tidak mungkin aku meladeni mereka yang sudah jelas merupakan muridku juga.


Begitulah hari-hari yang aku jalani di sekolah menengah atas itu. Aku diterima dengan baik di sana, para guru di sana pun humble. Begitu juga para siswa dan siswinya.

Posting Komentar