Mulai Bangkit

"Cermin di kamarnya seolah memperlihatkan wajah segar tanpa bulu-bulu halus yang membuatnya tidak rapi. Ya, kemarin dia sudah membersihkannya. Dia pun "

4 min read

Ternyata yang menelepon adalah ibunya yang sekarang tinggal di Kalimantan.


"Assalamualaikum, Bu," ucap Zuhayr.


"Waalaikumussalam, Hayr. Kamu apa kabar?" tanya ibu Zuhayr di seberang sana.


"Alhamdulillah aku baik, Bu. Ibu dan yang lain gimana?" tanya Zuhayr.


"Kami di sini juga baik, Hayr. Beberapa hari ini mama Anjar cerita kalo kamu sering nggak enak badan. Memang kamu kenapa?" 

Bangkit


"Aku nggak apa-apa, Bu. Cuma gak enak badan biasa," jawab Zuhayr.


"Jangan Hayrelekan kesehatan, Hayr. Kalo ngerasa gak enak badan, pergilah ke dokter atau setidaknya mantri," nasihat ibu Zuhayr.


"Iya, Bu."


"Kamu sudah makan?" tanya ibu Zuhayr lagi layaknya mengintrogasi anaknya.


"Udah, Bu. Kalo Ibu gimana?" tanya Zuhayr balik.


"Ibu juga sudah makan. Sudah lebih dari seminggu kamu pulang, apa kamu belum dapat kerja?" tanya ibunya.


"Bukan belum dapat kerja, Bu."


"Lah terus kenapa?" 


"Zuhayr belum ada niatan cari kerja, Bu."


"Loh kamu jangan begitu, Hayr. Bagaimanapun di sana kamu cuma sendiri," ujar ibunya.


"Iya, Bu. Nanti Hayr akan cerita kerja. Udah dulu ya, Bu, Hayr mau mandi dulu," ucap Zuhayr supaya ibunya tidak mendesaknya lagi.


"Ya sudah, kamu hati-hati dan jaga kesehatan di sana," pesan ibunya.


"Iya, Bu."


Telepon itu pun berakhir. Sebenarnya bukan karena Zuhayr ingin mandi, hanya saja ia sangat malas saat ditanya-tanya dan didesak oleh ibunya.


Hari demi hari pun berlalu, tak terasa sudah dua bulan Zuhayr tinggal di tanah kelahirannya. Namun, keadaan masih saja sama. Zuhayr dengan luka dan keterpurukan yang membuatnya lupa bahwa dunia terus berjalan dengan ada tau tidaknya Zuhayr di bumi. Beberapa jam yang lalu lagi dan lagi pria yang sekarang rambutnya sudah panjang dan memiliki brewok itu menghabiskan malam dengan minuman dan rokok, hingga barulah sekarang ia tertidur.


Jika beberapa waktu lalu hanya kamar dan hatinya yang berantakan, maka sekarang wajahnya pun tak terurus. Rambutnya begitu panjang, ditambah dengan bulu-bulu halus di sekitaran wajahnya yang tumbuh lebat.


Laki-laki itu tampak tidak nyaman dalam tidurnya. Ia Seperti sedang bermimpi, hingga membuatnya mengigau.


"Arghhh jangan!" 


Zuhayr terbangun dari tidurnya karena mimpinya begitu menganggu. Ia bermimpi didatangi oleh seseorang yang wujudnya tidak terlihat, hanya ada suara dan bayangan hitam. Ia mengatakan pada Zuhayr untuk bangkit dari keterpurukannya. 

Memang mau sampai kapan akan bertahan dalam luka? Sampai kapan tidak memedulikan diri sendiri? Cukup orang lain saja yang tidak peduli, dirinya sendiri harus peduli. Sudah saatnya Zuhayr bangkit, ada hari esok yang lebih baik dan harus dimenangkan.


Lalu sosok dengan bayangan hitam itu seolah mengejarnya saat Zuhayr mengatakan tidak mau hidup lagi di dunia ini, hingga karena ketakutan, Zuhayr pun terbangun.


"Syukurlah ini cuma mimpi," lirih Zuhayr yang masih ngos-ngosan.


Keesokan harinya.


Sejak Zuhayr terbangun dari mimpinya semalam, ia tidak bisa tidur lagi. Ia hanya merenung dan merenung.


"Apakah aku harus bangkit?" 


"Ah ya, aku harus bangkit. Sesuai kata sosok hitam itu, ada hari esok yang harus aku jalani. Jika kemarin kalah, maka di hari esok harus aku menangkan."


Sedari tadi Zuhayr bermonolog dengan dirinya sendiri. 


Lalu setelahnya ia bergegas mandi dan membersihkan diri. Mimpi itu berhasil mengubah Zuhayr, bahkan sehabis mandi ia tampak membersihkan rumahnya yang berantakan. Ia mulai dengan membersihkan debu, abu rokok, dan sampah-sampah dari botol minuman dan makanan ringan yang berserakan.


Tok! Tok! Tok!


Pintu rumah Zuhayr diketuk, mendadakan ada yang bertamu ke rumahnya. Zuhayr dapat menebak, jika bukan Anjar sudah pasti mamanya.


Benar saja tebakan Zuhayr, setelah membukakan pintu, hal pertama yang ia lihat adalah Anjar yang sudah tampak rapi.


"Tumben Hayragi ini udah rapi, Hayr?" tanya Anjar yang keheranan apalagi saat melihat Zuhayr tengah memegang sapu.


"Emang nggak boleh?" tanya Zuhayr.


"Ya boleh sih, tapi aneh aja. Gak biasanya kamu sudah bangun Hayragi ini, mana sudah rapi dan lagi bersih-bersih pula," ucap Anjar.


"Aku mau berubah, Njar," jawab Zuhayr.


"Bagus, aku bakalan bantuin kamu bersih-bersih."


"Nggak usah, biar aku aja," tolak Zuhayr.


"Nggak apa-apa, biar aku bantuin. Kalau udah selesai kita sarapan di rumahku," ujar Anjar.


Hingga akhirnya Zuhayr tidak menolak lagi dan mereka pun bekerja sama membersihkan rumah yang Seperti kandang kambing itu.


"Njar," panggil Zuhayr.


"Kenapa, Hayr?" tanya Anjar sembari menoleh.


"Temenin aku nyari kerja yuk!"


"Hah?"


"Kenapa kamu terkejut begitu?" tanya Zuhayr pada Anjar.


"Gimana aku nggak terkejut, udah sering aku ajak nyari kerja tapi kamu nolak terus. Sekarang aku udah dapet kerjaan dan kamu masih di rumah aja," jawab Anjar pada Zuhayr dengan wajah yang begitu heran.


"Ya makanya biar aku kerja juga, kamu temanilah aku nyari kerja. Siapa tau kamu ada info lowongan pekerjaan gitu," jawab Zuhayr lagi.


"Aku ada info lowongan kerja kemarin,ntapi mungkin bukan di perusahaan," jawab Anjar.


"Apa aja yang penting halal, gak harus di perusahaan kok."


Karena Zuhayr sekarang hanya berpikir untuk mencari pengalaman kerja dulu sembari melangkah menuju esok yang lebih baik Seperti yang kemarin ada di mimpinya kemarin. Lelaki itu bertekad untuk bangkit dan belajar mengikhlaskan Friska, karena mau bagaimanapun mereka tidak akan bersatu, apalagi sampai menuju jenjang pernikahan.


"Kemarin temenku bilang kalo ada lowongan kerja di kafe dekat sini, tapi sebagai waiter. Kamu mau?" tanya Anjar yang seolah tak yakin.


"Mau!" jawab Zuhayr cepat.


"Kalau mau, kamu datang saja ke kafe itu. Karena kebetulan di sana gak perlu ijazah kok," ujar Anjar dan diangguki oleh Zuhayr sebagai pertanda paham dengan ucapannya.


Usai bersih-bersih rumah yang dibantu oleh Anjar, mereka pun pergi menuju rumah Anjar untuk sarapan pagi.


Zuhayr memang sudah bertekad untuk mencari pekerjaan besok hari, siapa tau rezekinya memang di kafe itu. Kalaupun bukan, dia percaya jika rezekinya ada di lain tempat.


Keesokan harinya, Zuhayr memulai hari dengan memasak sarapan pagi untuk diri sendiri, kali ini dia tidak mau merepotkan mamanya Anjar. 


Cermin di kamarnya seolah memperlihatkan wajah segar tanpa bulu-bulu halus yang membuatnya tidak rapi. Ya, kemarin dia sudah membersihkannya. Dia pun sudah memotong rambut yang sudah memanjang.


Hingga tepat pukul 09.00 WITA, Zuhayr pun sampai di kafe yang kemarin dimaksud oleh Anjar. Perjalanan dari rumah menuju kafe hanya sekitar 10 menit. Kafe ini cukup strategis karena berada di dekat kampus dan jalan raya, pun dengan nuansa klasik yang membuatnya menjadi khas.


"Semoga kafe ini menjadi rezekiku, Ya Allah." Lagi dan lagi Zuhayr berdoa dalam hati.


Lelaki itu pun memasuki kafe bernama Family Kafe itu, waktu masih pagi, tapi sudah banyak pengunjung yang berdatangan.


"Permisi, Pak. Apakah saya bisa bertemu dengan manager atau owner dari kafe ini?"

Posting Komentar