Menyatakan Rasa

"Aku hanya ingin menikmati sesuai alur saja. Biarlah Tuhan yang mengatur semuanya, termasuk kisah cintaku ke depannya. "

4 min read

Pagi ini aku menyambut hari dengan begitu gembira, entah kenapa ada perasaan berbeda sejak aku dekat dengan perempuan ayu bernama Dian itu. Padahal dulunya hanya bersama Friska aku merasa begitu, perasaan berbunga dan seolah dunia hanya tentangnya.


Mungkinkah aku sudah benar-benar jatuh cinta pada gadis itu? Entahlah, aku tidak mau lagi terburu-buru yang membuatku sakit di akhirnya. Sama Seperti yang aku rasakan saat putus dengan Friska.

Menyatakan Rasa


Aku hanya ingin menikmati sesuai alur saja. Biarlah Tuhan yang mengatur semuanya, termasuk kisah cintaku ke depannya.


Saat aku baru selesai mandi, handphoneku berdering tanda ada yang menelepon. Aku pikir itu Anjar, manusia yang hobi sekali menggangguku. Dengan malas-malasan, aku pun mengambil handphone yang aku letakkan di atas nakas.


Dian. Nama perempuan itu yang tertera di layar pipih milikku. Entah kenapa raut malas-malasan dari wajahku tadi hilang, berganti dengan perasaan senang. Senang karena Dian yang menelepon? Atau senang karena bukan Anjar yang kembali menggangguku? Ah entahlah. Aku sendiri bingung dengan perasaanku.


Dengan segera aku pun menjawab panggilan itu.


"Halo, Kak Hayr." Terdengar suara lembut di seberang sana.


"Halo juga, Dian. Ada apa?" tanyaku. Aku tebak dia ingin kembali mengajakku bertemu untuk mempelajari blog lebih dalam.


"Apakah hari ini kakak sibuk?" tanya gadis itu.


"Gak terlalu, Dian. Ada apa?" tanyaku. Aku enggan untuk menunjukkan jika aku mempunyai tebakan terhadap tujuannya meneleponku.


"Apakah hari ini bisa ketemu, Kak? Buat belajar blog lagi," ujarnya.


Nah benar bukan? Sudah kutebak!


"Halo, Kak Hayr? Gimana, apa Kakak bisa?" tanya Dian lagi.


Ah ternyata tadi aku termenung sampai lupa menjawab pertanyaannya.


"Ah iya, Dian. Hari ini aku bisa," jawabku.


"Syukurlah kalau begitu, nanti ketemu di mana, Kak?" tanya Dian.


Gadis itu memang selalu begitu, mungkin karena dia segan jika menentukan sendiri tempatnya. 


"Aku sih terserah aja, Dian. Kamu nanti sore di mana?" tanyaku.


"Aku lagi di kampus sampai nanti sore, Kak. Setelah itu baru ketemu Kak Hayr," jawabnya.


"Kalau begitu, kita ketemu di kampus kamu aja, Dian. Biar kamu gak repot juga," jawabku.


"Aduh Kak Hayr, kan kakak yang repot bukan aku. Maaf ya, Kak," jawabnya.


Tak lama kemudian percakapan lewat telepon itu pun berakhir dengan kesimpulan kami akan bertemu di kampus tempat gadis itu melanjutkan gelar sarjananya.


*

"Belajarnya di taman kampus aja yuk, Kak," ajak Dian padaku saat kami sudah berada di kawasan kampusnya.


"Boleh, yuk," jawabku mengikut saja.


Kami pun berjalan berdua menuju taman layaknya orang yang tengah berpacaran.


"Ini Kakak beneran gak sibuk? Gak enak juga karena udah sering aku gangguin," ucapnya saat kami baru saja sampai di taman yang Dian maksud.


"Santai aja Dian, nggak apa-apa kok," jawabku.


"Ya sudah mungkin kita langsung aja, Kak. Ini tadi aku bawain Kak Hayr minuman," ucapnya sembari menyerahkan sebuah minuman yang terdapat logo khas kafe milik Anin.


"Wah, terima kasih Dian. Tau aja kalo aku lagi haus," candaku.


"Harusnya kan aku yang minta makasih sama Kak Hyar," ujarnya.


"Ya sudah, sama-sama."


Aku pun mulai mengajarinya tentang hal mendalam mengenai blog. Semakin hari materi yang aku ajarkan padanya semakin detail, karena memang belajar blog itu tidak cukup dengan kita tahu bagaimana cara membuat akun dan mempostingnya saja.


Tak terasa sudah dua jam berlalu, kami pun tidak sadar jika waktu hampir magrib karena terlalu asik belajar sembari sesekali bercanda. Kami baru sadar ketika rintik gerimis mulai turun sebagai tanda bahwa malam ini akan diguyur hujan.


"Eh udah hampir magrib nih, Kak. Mending pulang aja lagi," jawabnya.


"Ya sudah kalau begitu," jawabku.


"Makasih ya, Kak," ujar Dian dan aku balas dengan anggukan.


"Kamu pulang naik apa?" tanyaku.


"Aku pulang naik ojek online aja, Kak," jawabnya.


"Mending pulang bareng aku aja, daripada keburu hujan nungguin ojek online," jawabku.


"Emang nggak apa-apa, Kak?" tanya Dian yang nampak tidak enak hati.


"Nggak apa-apa Dian, aku juga gak mungkin pulang duluan dan biarin cewek sendirian di sini," jawabku.


Akhirnya Dian pun menyetujui dan kami pun berjalan menuju parkiran.


"Kenapa, Dian?" tanyaku karena tampaknya Dian tengah kesusahan memasang helm dengan banyak bawaan.


"Susah, Kak," jawab Dian hendak meletakkan dulu barang bawaannya.


Namun, sebelum itu terjadi aku sudah lebih dulu membantunya memasang helm. Kami sempat terdiam beberapa saat, aku juga kaget dengan tindakan refleksku itu.


"Ah maaf jika aku lancang," ucapku setelah berhasil memasangkan helm pada Dian.


"Nggak apa-apa, Kak. Makasih ya," ucapnya yang aku balas dengan anggukan setengah canggung.


Hari demi hari pun berlalu, tak terasa aku semakin dekat dengan Dian. Apalagi kami intens bertemu, entah itu di taman kota ataupun di taman kampusnya. Memang sejak kejadian di mana Dian tak sengaja menjatuhkan gelas di kafe Anin, kami tidak lagi bertemu di kafe itu. Namun, aku tetap pergi ke kafe Anin bersama Anjar meskipun tidak sesering dulu. Di samping karena sibuk dengan pekerjaanku, waktuku pun lebih sering aku habiskan dengan Dian di taman.


Jika biasanya Dian yang mengajakku bertemu, kali ini berbeda. Aku mengajak Dian bertemu di kafe Anin.


"Apa kita gak belajar di taman aja, Kak?" tanya Dian padaku melalui panggilan suara.


Sepertinya gadis ini mengira jika aku mengajaknya bertemu untuk mengajarkannya lagi mengenai blog. Padahal bukan itu, aku memiliki rencana lain. Lagian untuk sekarang aku rasa Dian sudah lebih paham mengenai blog.


"Gapapa, Dian. Kita ketemu di kafe Anin aja, sekali-kali ganti suasana," jawabku.


Akhirnya Dian pun setuju dan kami fix akan bertemu di kafe Anin.


"Ya sudah kalau gitu aku siap-siap dulu ya, Kak," ujar Dian yang akhirnya telepon kami berakhir di sana.


Aku pun memilih bersiap-siap juga karena ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Hari di mana perasaan cinta dan sakit yang aku rasakan pada Friska hilang, meskipun aku tidak akan mampu melupakan kenangan yang dulu kami pupuk bersama, tetapi setidaknya dengan orang baru nama Friska yang dulu terukir di hatiku perlahan terkikis.


Hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam, sampailah aku di kafe milik Anin. Aku memasuki kafe itu dan terlihat seorang perempuan yang melambaikan tangannya ke arahku, siapa lagi jika bukan Dian. Ternyata perempuan itu sudah tiba lebih dulu daripada aku. Ia tampak semakin cantik dengan kemeja oversize dan celana jeans yang ia kenakan.


"Kamu udah dari tadi di sini?" tanyaku.


"Baru sampai juga kok, Kak," jawabnya sembari menebar senyuman yang memabukkannya.


Lalu, kami pun memesan makanan dan minuman karena memang aku belum makan.


"Dian."


"Iya, Kak?"


"Aku ingin jujur sama kamu," ujarku yang sebenarnya tengah gugup dan kebingungan dalam merangkai kata-kata.


"Aku cinta kamu!"


Posting Komentar