Mabuk

"Kubuka mata dengan perlahan. Badanku terasa pegal-pegal, kepala juga sedikit pusing. Kulirik sekeliling, aku paham. Ini adalah kamar Herman."

4 min read

Seharusnya ini adalah hari yang membuatku bahagia karena aku akhirnya bisa lulus, meskipun sempat terseok-seok dan hampir mati di tengah jalan. Namun nyatanya, aku malah seolah berada dalam jurang kematian. Yah, aku mati sebelum kematian itu sendiri.


Kini aku memang masih bernapas, ya hanya bernapas, tetapi aku merasa kehidupanku telah direnggut secara paksa oleh kenyataan. Kenyataan yang mengharuskan aku berpisah dari orang yang sangat aku sayangi. Lalu sekarang Dia hadir lagi dengan membawa surat undangan yang ditujukan padaku.

Mabuk

Bagaimana mungkin aku bisa menghadirinya bahkan mendengar dia akan menikah dan jatuh ke pelukan orang lain pun aku sudah merasa seperti kehilangan duniaku.


Kini jalan di depanku seolah tidak ada artinya lagi. Aku kehilangan tujuanku dalam hidup. Tujuan yang tadinya sudah kurangkai sangat indah, tapi nyatanya rencana hanya sebuah rencana jika tanpa adanya restu dari yang Maha Kuasa.


Salah satu hal yang bisa aku lakukan untuk saat ini yaitu pulang ke kampung halaman. Jika aku terus berada di kota ini, aku akan sering bertemu dengan Friska dan membuatku akan makin sulit untuk melupakannya.


Kini aku sudah berada di tempat kost dan mulai mengemas barang-barangku. Kebetulan juga dua hari lagi kos ini selesai jangka waktunya. Jadi ini akan pas jika aku langsung pulang hari ini juga. 


Tiba-tiba bunyi ponsel mengalihkan perhatianku dari barang-barang. Herman. Dialah yang meneleponku. 


"Assalamualaikum," ucapku pelan.


"Waalaikumsalam. Nanti malam kamu ke rumahku ya. Bakal ada pesta di sini," katanya dari ujung telepon.


"Sorry nggak bisa aku mau pulang hari ini juga."


"Elaaah! Kamu lagi kacau pikirannya jangan pulang sekarang. Besok aja pulangnya, nanti malam ke rumah aku sekalian bawa barang-barangmu, kamu besok pulang dari sini," katanya panjang lebar.


"Ya udah kalau kamu maksa." Kumatikan panggilan dan mengantongi ponsel.


Aku membawa semua barang-barangku menuju ke rumah Herman karena di sana memang kan ada pesta malam ini. Sebenarnya tidak banyak, hanya beberapa pakaian karena sebagian besar barang sudah aku kirim lewat ekspedisi.


Di sini banyak orang, tapi aku merasa sendiri. Tidak ada yang mampu menemaniku saat ini. Hanya segelas anggur dan rokok yang bisa sedikit menenangkanku. Hanya sedikit.


"Hey! Ayo ikut bareng kita," ajak salah satu teman Herman yang mungkin sebenarnya temanku juga. 


"Enggak. Makasih." Kutenggak lagi segelas anggur yang disediakan. Hampir menghabiskan sebotol.


"Oh, oke!" katanya kemudian pergi dari sampingku.


Di sekitar sana banyak orang berkerumun. Namun, entah mengapa aku masih ingin menyendiri. Di dalam keramaian aku masih merasa sendirian. 


Akan tetapi, ketika aku sendirian bayangan Friska selalu terlintas. 


"Aaarrrggghh!" Kali ini kutenggak lagi anggur di hadapan, bukan dengan gelas, melainkan dengan botolnya.

*

Kubuka mata dengan perlahan. Badanku terasa pegal-pegal, kepala juga sedikit pusing. Kulirik sekeliling, aku paham. Ini adalah kamar Herman. Namun, di mana dia? Dia tidak ada di sebelahku?


Kuedarkan pandangan mencari keberadaan lelaki itu. Namun, tidak ada, yang aku temukan hanyalah jam dinding yang menunjukkan pukul 9.00 WITA. Di nakas samping ranjang, ada segelas susu dan di bawahnya ada pesan.


"Susunya diminum, sandwich juga dimakan, Zu. Jangan pergi sebelum aku pulang."


Aku bangkit dari tempat tidur dan duduk di tepi ranjang. Susunya sudah dingin, mungkin dia sudah pergi sejak pagi. 


Aku mencoba mengingat lagi apa yang terjadi tadi malam. Namun, semakin aku mencoba mengingat, nyatanya kepalaku malah semakin bertambah pusing.


Aku yang tadinya hendak berjalan keluar dari kamar ini pun mengurungkan niat, karena rasanya aku belum sanggup untuk melakukan itu. Kepalaku masih terasa sangat pusing, juga badanku teramat lemas.


Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di ranjang dan bersandar ke tembok dan meraih sandwich yang ada di nakas. 


Entah apa yang terjadi dan siapa yang membawa aku ke sini? Aku masih bertanya-tanya, dan nggak tau siapa yang bisa menjawab. 


Sementara aku hanya bisa terdiam dan menikmati sepotong sandwich yang entah siapa yang membuatnya. Mungkin Herman, atau asisten rumah tangganya.


"Assalamualaikum, udah bangun, Bro?" Suara itu terdengar bersamaan habisnya sandwich yang ada di mulut.


Aku menoleh. Ternyata Herman. Dia sudah pulang. "Waalaikumussalam."


"Semalem minum berapa botol?" tanyanya.


"Nggak tau."


"Lain kali minum tuh pakai aturan. Segelas atau dua gelas. Itu anggur bukan sirop!" ocehnya di sebelahku.


"Aku semalam kenapa?"


"Semalam kamu ngamuk, terus muntah. Untung sebagian udah pada pulang. Tinggal cowok-cowok doang. Kaya gini kamu mau pulang? Naik motor? Nggak! Aku nggak izinin."


"Ya aku pulang nanti kalau sudah nggak pusing." jawabku pelan.


"Udah sarapan?" tanyanya.


"Makan sandwich."


"Ayo makan di ruang makan," ajaknya.


"Nggak bisa. Tadi mau ke depan juga pusing." 


"Ya udah, tunggu sini! Tapi kau awas ya jangan ngompol di sini!" ancam Herman sambil melotot.


"Ya kali ngompol. Kalau ke kamar mandi ya masih kuusahain lah," kataku ketus.


"Siapa tau."


Kepergian Herman dari sini membuat aku kembali terdiam dan pikiranku masih dipenuhi kebingungan kenapa aku bisa sampai mabuk setelah itu.


Ketika aku mencoba mengingatnya kepalaku kembali pusing seolah-olah ingatan itu ingin dihapus dari otakku.


Entah apa aku juga tidak tahu. Aku lihat ternyata ponselku ada di nakas. Namun herannya, kenapa aku baru menyadari hal itu, atau mungkin aku memang semabuk itu sejak semalam.

*

Setelah semua kejadian dari kemarin sampai hari ini akhirnya aku berangkat untuk pulang ke kampung halaman karena aku sudah merasa baikan dan Herman beserta kedua orang tuanya mengizinkan aku untuk berangkat hari ini. 


Aku pulang ke kampung halaman mengendarai sepeda motor karena kepalaku sudah tidak terlalu pusing. Perjalanan ini cukup melewati banyak hutan dan menempuh puluhan kilo meter jadi ketika mengendarai motor tentu saja akan lebih menikmati perjalanan. 


Setelah isya aku baru sampai di rumah dan mendapati rumah ini kosong, masih beruntung karena kuncinya dititipkan ke tetangga dan aku bisa masuk. Ya keluarga semuanya sudah pergi ke Kalimantan seperti yang ibu ucapkan waktu itu. Waktu aku baru saja berpisah dengan Friska.


Friska. Dia ... akan menikah besok. 


Aaarrrggghh! 


Aku ingat sekarang, apa yang membuatku ada di kamar Herman tadi pagi. Aku terlalu banyak minum karena memikirkan Friska yang akan menikah besok. Akan tetapi, emang hanya itu yang bisa membuatku sedikit melupakan Friska; dengan cara tak sadarkan diri. 


Atau? Aku lebih baik lenyap dari dunia ini.


Andai bunuh diri nggak dosa.


Argh!


'Aku pikir dengan menjauh bisa melupakanmu, tapi nyatanya hanya ragaku yang berpindah tempat, hati dan jiwaku masih untukmu, Friska.'

Posting Komentar