Didekati Siswi SMA

"Aku dan Anin mulai bercerita. Gadis yang memang humble dan ceria sangat nyambung jika diajak ngobrol, apalagi karena kami memang sudah saling kenal se"

3 min read

Suara itu membuatku terkejut setengah mati, karena selain suara, dia juga menepuk pundakku.


"Anin, lain kali kamu jangan ngagetin saya yah. Nanti kalau jantung saya copot gimana?" ujarku mengingatkan.

Didekati Siswi SMA

"Kalau jantung Bapak copot, ambil saja jantungku untuk menggantikannya," jawabnya dengan nada manja kemudian duduk di depanku.


'Ya Tuhan. Malah kejebak sama dia di sini.'


"Hadeh! Kau ini ada-ada aja!" jawabku sembari menggelengkan kepala.


"Iya, Pak. Termasuk ada cinta untuk Bapak." 


"Hih! Udah ah, malu! Kalau mau duduk bareng saya, jangan gitu. Saya malu!" gertakku sedikit dengan penekanan.


"Bapak malu, tapi saya suka," gumamnya yang sedikit terdengar di telinga.

"Apa? Coba ulangi!" 


"Eh, enggak, Pak. Maafin saya. Janji nggak gitu lagi," jawabnya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah sebagai pertanda janji.


"Iya, oke. Duduk."


"Pak Zuhayr mau pesan kopi hitam lagi? Saya pesankan ya," pintanya.


"Nggak usah, Anin." 


"Nggak apa-apa, sesekali saya traktir kopi." Dia berkata sambil melambaikan tangannya pertanda memanggil waiters.


"Ya udah kalau maksa. Sama cemilan juga kalau boleh, tadi tumpah soalnya." 


"Siap Bos." Anin membisikkan sesuatu pada waiters itu lalu si waiters pergi.


Aku dan Anin mulai bercerita. Gadis yang memang humble dan ceria sangat nyambung jika diajak ngobrol, apalagi karena kami memang sudah saling kenal sejak setahun terakhir karena memang di sekolah yang sama.


Lalu kami terdiam beberapa saat ketika dia membalas pesan di ponselnya yang Sepertinya mahal.


Kini dia ada di kelas 12 dan sebentar lagi ujian. Mungkin di sini dia sedang mencari suasana baru karena lelah belajar.


"Kamu sering di sini, Nin?" tanyaku mengakhiri kebisuan kami.


"Sering, Pak. Saya juga sering lihat Bapak sama temen Bapak yang laki-laki di sini," katanya.


"Oh ... kok saya nggak pernah lihat ya?" Aku terheran karena kutahu kafe ini memang cukup luas, tetapi kalau sering masa iya baru ketemu sekarang.


"Bagus! Aku yang disuruh nungguin motormu di bengkel terus kamu enak-enakan kencan sama cewek!" tegur Anjar tiba-tiba.


"Nah, ini kan temen Bapak itu?" sahut Anin.


"Yups."


"Kok, Bapak?" Anjar terlihat sangat heran dengan panggilan dari gadis berambut ikal dan digerai itu.


"Ya iya, lah. Dia kan siswi SMA di tempat aku kerja," jawabku santai.


"Kalian pacaran? Katanya belum mau buka hati." Anjar langsung menarik kursi dan duduk seolah sangat penasaran dengan kami.


"Eh, enggak! Siapa bilang!" sahutku cepat.


"Sekarang belum, kalau besok siapa yang tau. Ya kan?"


Ucapan dari gadis di depanku ini langsung membuat kami berdua menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut. Sementara dia malah dengan santainya meminum es matcha di gelasnya.


"Maksudnya?" tanyaku dan Anjar bersamaan.


"Ya bener kan? Yang kita tahu, ya yang kita jalani sekarang. Untuk besok mana ada yang tahu. Jangankan besok, detik berikutnya saja nggak ada yang tau." Kata-katanya sangat bijak. '


"Bener juga, sih." 


Ucapan Anin membuat aku dan Anjar terdiam. Bingung apa yang harus dilakukan karena yang dikatakan adalah benar, ya meskipun ada yang membuatku tidak nyaman.


Di tengah keheningan kami, ternyata dua orang waiters mendekati kami dan membawa banyak makanan. Bukan hanya camilan Seperti yang aku minta.


"Ini kamu yang pesan, Hayr?" Anjar terlihat heran. Pasalnya ada kopi kesukaan Anjar juga.


"Bukan, itu ulah Anin." 


"Iya, hari ini saya yang traktir Pak Zuhayr sama temennya. Nanti kalau sisa ya dibawa pulang buat makan malam," kata Anin dengan entengnya.


"Kok gitu? Apa kamu nggak dimarahin sama orang tua kamu karena ini?" tanyaku. 


Aku hanya takut saja kamilah yang akan jadi sumber masalah Anin nantinya.


"Orang tua? Orang tua saya nggak akan peduli dengan ini. Bahkan saya mati mungkin mereka juga nggak akan mencari." 


Aku terdiam. Apa sebesar itu masalah di keluarganya?


"Terus kamu bayar ini gimana? Kami aja yang bayar ya," pinta Anjar yang terlihat sama cemasnya denganku.


"Nggak apa-apa. Ini kafe milik saya. Sudah sejak awal saya SMA buka. Tapi dulu emang belum sebesar ini. Karena tekad saya jadilah Seperti ini." Dia bercerita tentang kesuksesannya, tetapi dengan wajah murung.


"Kenapa kamu malah sedih?" tanyaku yang bingung.


"Sejak awal saya Seperti anak yang nggak diinginkan, hanya karena saya bodoh dalam mata pelajaran, nggak kaya kakak saya yang selalu peringkat satu di sekolah. Saya cuma senang masak dan mereka benci itu, menurut mereka masak itu bukan hal yang membanggakan." Dia terlihat sangat sendu kali ini. Meskipun aku tidak merasakan hal yang Anin rasakan, terlihat dari wajahnya dia sangat tertekan.


"Lalu?" 


"Ya begitulah. Karena saya malas debat terus akhirnya saya memilih untuk membuka kafe ini sejak saya lulus dari SMP dengan peringkat dua puluh terendah. Saya sering ikut lomba masak sampai juara. Kadang dapet alat dapur, kadang dapet uang."


"Jadi alat dapur di sini awalnya ....." Aku sengaja mengantungkan kalimat.


"Iya Pak. Saya buka kafe awalnya ngontrak ruko kecil. Bukan di sini. Tapi karena makin lama pelanggan makin rame dan uang cukup, akhirnya saya pindah. Awal dari semua ini ya dari uang dan parabot yang saya dapat pas lomba. Alhamdulillah jadi Seperti ini."


"Tapi orang tua kamu tau?" 


"Tau, tapi masa bodo kayaknya," jawabnya tanpa ekspresi.


"Oh, iya. Kafe ini kan emang baru setahunan ya," sahut Anjar sambil melahap makanan di depannya.


"Bener," balas Anin. "Nah sekarang Pak Zuhayr sama temennya silakan makan, ya. Karena pelanggan setia, hari ini saya traktir," lanjutnya

.

"Panggil saya Bang Anjar. Oke?" 


"Oke."

Kami pun makan bertiga. Ya Anin masih di sini, Sepertinya dia memang sudah sering menginap di sini. Maklum sih, ini kan kafe dia. Nggak nyangka!


Setelah selesai makan dan ngobrol banyak hal, kami pun pulang dengan membawa banyak makanan yang Anin berikan. Katanya sebagian besar adalah reHayr dia, sebagian lagi dari koki yang ada di sini.


Tadi dia juga sempat meminta nomor WhatsApp-ku. Katanya kalau ada perlu.


Bagiku itu bukan masalah, aku tidak membatasi diri pada siapapun sekarang. Aku lelah ditimpa sakit hati, juga lelah menunggu hal yang tidak pasti.


Jika membuka jalan ke depan bisa lebih baik untukku, kenapa tidak?

Posting Komentar