Depresi itu Nyata
Lelaki itu masih terdiam di ambang pintu. Namun, dia sudah melemparkan ranselnya ke sofa. Rambut dengan potongan Messy hair itu mulai memanjang dan acak-acakan.
Teriakan penuh dengan kekecewaan juga membuat dia terlihat begitu menyedihkan. Zuhayr. Dia yang terlalu cinta pada kekasihnya, dipaksa harus menerima kenyataan jika mereka berdua tidak bisa bersama. Namun, melupakan seseorang tak semudah yang orang bicarakan. Nyatanya itu sangat sulit bagi Zuhayr.
Dua tahun hampir genap, ternyata tidak membuat lelaki berpostur tubuh tinggi dan tegap itu bisa melupakan sedikit saja kenangan bersama kekasihnya, Friska.
Kakinya melangkah menapaki ubin rumah yang dingin selangkah demi selangkah hingga akhirnya lelaki itu membantingkan dirinya di sofa.
Tatapan kosong terlihat jelas di sorot matanya. Sepertinya beban yang dia tanggung begitu berat dan tidak ada tempat untuk berkeluh kesah atau sedikit mengurangi beban yang dia pikul sendiri. Tarikan napas yang berat juga menyertai lelaki itu.
Di rumah yang didominasi warna putih itu dia hanya seorang diri. Semua keluarganya telah berpindah ke Kalimantan. Ini juga yang makin membuat dia tak mampu mengalihkan pikiran dari seorang gadis cantik bernama Friska Maurin Eleanor.
Lelaki itu kini bangkit dan membawa ransel miliknya menuju ke kamar dan melemparkannya ke ranjang. Debu dan kotoran yang ada di sana dibiarkan begitu saja dan langsung merebahkan diri di kasur tanpa membereskannya terlebih dahulu. Masih dalam keadaan gelap dia nyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya sehingga menjadi kepulan yang pekat. Matanya menatap ke langit-langit kamar yang berpola awan di langit.
Di tengah keheningan malam itu, ada ketukan terdengar dari pintu utama. Sontak saja membuat Zuhayr bangkit dan langsung berlari ke arah pintu sambil memanggil nama Friska.
"Assalamualaikum!" seru seseorang di depan rumah.
"Waalaikumsalam, Friska!" kata Zuhayr dengan wajah semringah dan rokok yang tadi dia isap kini sudah dimatikan.
Namun sayang, ketika dia sampai di depan pintu dan membukanya ternyata yang ada di ambang pintu bukanlah gadis yang dia rindukan, melainkan tetangga yang dititipi kunci oleh keluarganya. Seketika wajah semringah itu kembali menjadi wajah yang suntuk dan muram.
"Zuhayr, ini bibi bawakan makan malam buat kamu, karena kamu datangnya sudah malam pasti nggak sempat makan," kata bibi itu dengan wajah ramah.
"Terima kasih, Bi. Nanti saya makan," kata Zuhayr sambil menerima sepiring nasi beserta lauknya.
"Kamu makan sekarang saja, bibi tungguin sekalian piringnya bibi bawa pulang," sahut wanita paruh baya tersebut.
"Nanti saya antar piringnya, Bi," balas Zuhayr lagi.
"Nggak, tadi ibumu bilang bibi suruh tungguin. Kamu kenapa nggak kabari ibumu kalau sudah pulang?"
"Belum sempat, Bi." Zuhayr mulai menyendok nasi dan menyuapkannya ke mulut. Bukan karena lapar, lebih tepatnya karena menghargai sebuah pemberian.
Padahal tadi jika bibi itu pergi dia berniat meletakkannya begitu saja, atau dipindah piring kemudian dikembalikan, tetapi si bibi lebih pintar dengan triknya karena memang diperintahkan oleh ibunya Zuhayr.
"Belum sempat tapi kenapa ditelepon nggak dijawab, Hayr. Kau udah lulus, tapi kayak nggak ada gairah hidup. Kenapa?" Wanita paruh baya itu mulai penasaran karena tingkah Zuhayr yang tidak seperti sebelumnya ketika dia belum berangkat ke Makassar.
"Enggak apa-apa kok, Bi," kata Zuhayr sambil terus menyuapkan makanan ke mulutnya karena dia ingin cepat-cepat menyelesaikan makan dan membuat bibi ini pergi dari rumahnya.
"Kalau kamu butuh apa-apa, bisa bilang ke bibi. Anjar juga ada di rumah, siapa tau kalian mau ngobrol, udah lama kan nggak ketemu." Wanita yang memang cerewet itu terus saja berkata apa saja demi memecahkan kesunyian yang Zuhayr ciptakan.
"Kapan-kapan ya, Bi. Saya mau istirahat dulu. Ini makannya udah habis. Makasih ya, maaf saya nggak bawa oleh-oleh dari Makassar." Zuhayr menyerahkan piring yang telah kosong pada wanita paruh baya itu.
"Enggak apa-apa, Hayr. Kalau gitu bibi pulang dulu ya, besok kalau mau sarapan bareng di rumah datang saja ya," kata bibi itu yang kemudian beranjak dari kursi.
"Baik, Bi."
Wanita baik hati tadi pun kembali pulang dan Zuhayr masuk lagi ke rumah untuk mengambil minum, tetapi naasnya minum di rumah juga telah habis. Akhirnya dia memilih untuk pergi dan membeli air mineral serta beberapa persediaan karena air minum rebus pasti penjualnya sudah tutup karena mengingat saat itu telah menunjukkan pukul 21.15 WITA.
Lelaki berkulit hitam manis itu pun mengendarai motornya menuju ke sebuah toko yang cukup besar untuk membeli beberapa persediaan dan air mineral. Mantan anak kos ini membeli banyak mie instan, minuman bersoda, rokok dan yang lainnya. Kurang lebih bisa untuk persediaan satu minggu ke depan.
Setelah semua belanjaan didapatkannya dia kembali ke rumah, tetapi dia masih merasa sedikit gelisah dan malah memutuskan untuk membeli beberapa botol anggur dan arak yang dia pikir bisa menenangkan hati dan pikirannya sehingga tidak lagi memikirkan tentang Friska terus-menerus.
Lelaki itu kembali dengan sebuah kardus yang berisi bahan makanan beserta arak yang baru dia beli tadi. Meskipun jiwanya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, tetapi semua makanan yang baru saja dia beli di tata dengan rapi di lemari dapurnya.
Sementara Arak, minuman bersoda, dan satu slop rokok yang dia beli langsung dibawa ke kamar. Langkahkan kakinya sambil menenggak satu kaleng minuman bersoda. Begitu tandas dia lemparkan begitu saja ke sudut kamar di mana ada tempat sampah, tetapi sayangnya tidak tepat masuk ke sana dan berakhir di lantai. Namun, Zuhayr sama sekali tidak ingin memungutnya. Beberapa puntung rokok juga meninggalkan bekas di lantai kamar selama tadi dia terdiam di sana ketika baru sampai.
"Friska mungkin sekarang sedang tidak bisa tidur karena besok dia menikah. Apa dia masih punya waktu mengingatku? Atau sudah bahagia dengan Stevanus sampai tidak ada waktu mengingatku?"
Lelaki dengan wajah sayu itu bergumam dan terus memikirkan hal yang sama sejak dia baru sampai di rumah; tentang Friska yang bisa dibilang sebagai cinta pertama di mana dia sangat serius. Namun, sebuah kenyataan harus melemparkan dirinya jauh ke lembah kepedihan.
Cinta yang terhalang dinding Tuhan memang hal yang paling menyakitkan.
Posting Komentar