Blog Anin
Suasana di sini masih terasa entah, apalagi ketika ada gadis lain yang datang; gadis itu tidak lain adalah Anin. Entah karena kebetulan atau memang dia yang mengikuti ke mana pun aku pergi, tapi akhir-akhir ini aku sering bertemu dia.
"Kamu?" tanyaku heran.
"Iya, aku." Anin tersenyum dan menampakkan giginya yang gingsul.
"Aku ganggu, ya?" lanjutnya.
"Enggak kok, sini duduk," ajak Dian pada Anin dan menepuk tempat kosong di sebelahnya beberapa kali. Kupikir itu sebagai tanda agar si Anin duduk di sebelahnya.
"Oke," kata Anin yang kemudian langsung duduk.
"Lagu bahas apa nih, kayaknya seru banget deh," lanjut Anin sembari menatap ke arahku.
"Ini lagi ngomongin blog," jawabku.
"Oh, iya! Kakak ini yang kemaren sama Pak Zuhayr di kafe bukan sih?" Anin bertanya lagi.
"Iya, bener."
Aku bersyukur ada Anin di sini, setidaknya gadis yang cukup banyak bicara dan energik ini bisa mencairkan suasana canggung yang terjadi di antara kami.
"Ya udah, lanjut, Pak. Aku lihat," katanya lagi.
Aku hanya mengangguki apa yang dikatakan oleh Anin, kemudian melanjutkan apa yang tadi sempat tertunda karena insiden yang agak membuatku berdebar.
Semilir angin menemani kami bertiga yang masih membicarakan tentang blog, tetapi bukan hanya itu, hal lain juga terus dibicarakan oleh Anindya.
"Hai, Kak," kata seseorang yang tiba-tiba datang di antara kami.
"Ini kopi dan cemilan yang Kakak minta," kata orang itu samb memberikan paper bag cukup besar pada Anin.
"Thanks ya, Kak."
Gadis itu langsung membuka isi di dalamnya dan memberikan kami masing-masing satu kopi dan satu pack kentang goreng.
"Ini buat Kakak dan Pak Zuhayr. Buat nemenin ngobrol. Haus kan sejak tadi ga ada minum."
Apa yang diucapkan oleh Anin memang benar. Sudah lebih dari satu jam kami di sini tanpa minum, dia memesan mungkin karena dirinya sendiri juga haus.
"Makasih, ya, Nin," ucapku pada Anin. Tentu saja setelah menerima makanan yang gadis itu berikan.
"Santai, Pak."
Kami pun menghentikan membahas tentang blog dan memilih untuk makan dan minum terlebih dulu mengingat Dian cukup ceroboh, siapa tau kali ini dia akan menumpahkan kopi ke laptopnya. Atau yang lain.
"Apa itu tadi adikmu?" tanya Dian pelan.
"Bukan Kak, dia bukan adikku," jawab Anin.
"Eum ...."
"Enggak, dia karyawannya si Anin," sahutku cepat.
Apa yang aku ucapkan membuat Dian mendelik dan terlihat Seperti sangat terkejut.
"Kamu yang punya kafe ini?" tanya Dian takjub.
"Iya, Kak. Santai aja nggak usah sungkan." Anin selalu humble pada kami.
"Ya udah, makan dulu. Nanti kita lanjut," balasku.
"Em, iya Pak. Nanti aku ajarin bikin blog juga ya, Pak, kalau Pak Zuhayr sama Kak Dian udah selesai. Sekarang aku duluan, ya." Anin bangkit dari bangku dan meninggalkan kami.
"Hati-hati, Nin."
Sekepergian Anin, aku dan Dian mulai melanjutkan menjelaskan tentang blog hingga dia benar-benar paham. Juga cara menulis agar bisa naik di kolom pencarian google.
Untungnya, Dian memang mudah tanggap, meskipun agak ceroboh. Jadi aku tidak terlalu kesulitan untuk mengajarinya.
"Ini udah selesai, kan ya, Kak. Takutnya nanti jamu ditungguin sama anak yang tadi," katanya di akhir pertemuan, ya sebenarnya mungkin, alasan utama adalah sudah hampir Magrib.
"Ya, udah. Ini udah mau Magrib. Kamu perlu kuantar?" tanyaku.
"Enggak usah Kak, aku ke rumah tanteku dekat sini. Nanti pulangnya habis Magrib." Dia berkata sembari merapikan alat tulis juga dengan laptop dan lainnya.
"Oke. Silakan kamu duluan," kataku.
"Iya, Kak. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," jawabku sembari melihat punggung Dian yang mulai menjauh hingga ditelan oleh pagar yang menutupi rumah tantenya.
Aku pun melangkahkan kaki menuju ke motor untuk segera menuju kafe milik Anin sebelum Magrib benar-benar datang, jadi aku bisa sekalian numpang sholat di kafe dia.
Ketika aku menginjakkan kaki di kafe Anin, tepat sekali bersamaan dengan berkumandangnya azan di masjid yang memang tidak jauh dari kafe itu.
Kebetulan sekali Anin baru saja keluar dari kantornya, dan menuju ke kasir, kami bertemu.
"Hai, Pak Zuhayr!" ujar Anin dengan senyum ramah.
"Hai, Anin."
"Kak, kalian sholat jamaah aja sekalian semuanya, mumpung aku lagi nggak sholat, biar aku yang jaga kasir." Anin bicara dan langsung mengambil alih di bagian kasir.
Mereka semua mematuhi perintah Anin. Sementara aku hanya diam dan memperhatikan. "Pak Zuhayr muslim kan? Sholat dulu sana," titah Anin padaku.
Aku membalasnya dengan senyum. "Ini juga tadinya mau numpang sholat, kebetulan bareng."
Aku berlalu meninggalkan Anin bersama seorang lagi yang terlihat mengenakan Rosario di lehernya.
*
Ketika aku kembali dari mushola di kafe Anin, gadis itu sudah tidak ada di belakang alat kasir, tetapi malah ada beberapa karyawan yang di sana.
Namun, sebelum aku mendekat dan bertanya salah satu di antara mereka sudah berkata, "Pak, sudah ditunggu Kak Anin di kantornya."
"Kantornya di mana?" tanyaku basa-basi, meksipun aku tahu letaknya.
"Mari saya antar, Pak." Lelaki seumuran Anin mendahului aku berjalan menuju kantornya Anin yang sebenarnya berada beberapa meter dari tempatku berdiri.
"Assalamualaikum, Kak. Tamunya kakak udah dateng," kata lelaki tadi ketika berada di ambang pintu kantor karena memang pintunya tidak ditutup.
"Waalaikumussalam, makasih sudah dianterin. Kamu balik kerja ya," balas Anin yang kemudian bangkit dari duduknya.
"Makasih udah mau dateng ya, Pak." Dia beralih menuju ke sofa yang berada di sisi lain ruangan.
Aku mengikuti. "Sama-sama. Kebetulan saya juga nggak sibuk malam ini," jawabku.
"Duduk, Pak."
Sesuai arahan dari Anin, aku pun duduk di sebelahnya. Sementara dia mulai mengoperasikan laptop di depannya.
"Pak, aku udah bikin blog, cuma kayak masih Hayri begini. Nggak menarik menurutku, aku mau dibagusin kaya blog punya Pak Zuhayr, ya," katanya lagi.
Aku melihat ke arah layar dan mendapati tampilan blog Seperti blog pribadiku yang awal dan baru saja kubuat dulu; berantakan dan tidak menarik.
"Coba sini saya benerin." Tanganku mengulur, niat hati ingin membereskan blog milik gadis ini, tetapi pemikirannya tidak sama denganku.
"Eh, nggak! Aku mau benerin sendiri. Pak Zuhayr ajarin aja, ya."
"Ya udah, iya. Sini saya ajari," jawabku.
Dia langsung membawa laptop yang tadi hendak disingkirkan, ke pangkuannya kembali. "Nah, ini loh, Pak."
"Ini bisa ditata letaknya pakai fitur layout, mudah kok, kalau kamu emang udah tau caranya."
"Ya itu, makanya aku minta Pak Zuhayr ke sini," katanya sedikit menaikan nada bicara.
"Ya deh, sini saya ajari sampe bisa." Aku mulai menunjukkan cara mengatur blog agar lebih mudah dipahami dan enak dilihat, apalagi katanya untuk mempromosikan kafe miliknya.
Posting Komentar