Bertemu Lagi

"Di sepanjang hari selain pelajaran kampus yang ada di otak, bayangan tentang Friska pun masih tersedia menghantui di setiap melangkah kaki ini."

4 min read

Aku berpikir jika tidak menyelesaikan skripsi dengan baik entah apa yang akan terjadi pada masa depanku nanti. Sudah tidak bisa bersama dengan Friska, tentu saja hal yang sangat menyedihkan jika aku juga tidak bisa lulus kuliah dengan baik.


Semalam aku menginap di rumah Herman dan pagi ini aku harus bersiap-siap berangkat ke kampus bersama dengannya.

Bertemu Lagi


Soalnya aku pikir menjalani setiap hari bersama tanpa adanya Friska itu berat, tetapi ternyata mengerjakan skripsi tanpa ada dirinya itu lebih berat lagi.


Di sepanjang hari selain pelajaran kampus yang ada di otak, bayangan tentang Friska pun masih tersedia menghantui di setiap melangkah kaki ini. Aku bisa melihat bayangannya di semua tempat, kecuali di sampingku.


 Entah apa yang terjadi denganku sekarang, mungkin bersama dengan Friska selama ini malah membuatku candu akan kehadirannya, jadi jika tanpa dirinya aku merasa ada yang kurang dalam hidupku.


Sekarang aku juga bisa melihat bayangan Friska sedang duduk sambil tersenyum ke arahku ketika kaki ini menginjak ubin perpustakaan kampus. Sebenarnya aku ke sini untuk mengkaji lagi bahan skripsi yang sedang aku garap, karena tidak dipungkiri memang jika skripsiku sangat banyak kekurangan di sana-sini. Daripada aku harus mengulang semuanya, lebih baik aku mengkaji dan membuatnya dengan benar. 


Namun, sekarang aku malah teringat lagi tentang kami; aku dan Friska. Di mana dia sering kali membaca buku di sebelahku sambil menahan tawa. Ya, gadis itu memang suka sekali dengan buku bergenre komedi. 


Jadi tidak dipungkiri jika gadis itu memang selucu dan semenggemaskan itu. Terkadang ketika mengingatnya, aku bisa tersenyum sendiri. Namun, sedetik kemudian aku harus menahan tangis karena mengingat kami yang tak bisa bersama.


"Eh, Bro! Kamu jadi cari bahan buat skripsi apa mau bengong di sini kaya patung?" Tiba-tiba kalimat itu membuyarkan lamunanku tentang Friska.


"Oh, iya. Sorry," balasku kemudian memfokuskan diri lagi mencari apa yang jadi tujuan utamaku di sini. Di perpustakaan.


Aku berjalan mengitari perpustakaan yang cukup luas ini bersama Herman menuju beberapa rak buku yang sekiranya cocok untuk aku jadikan referensi menulis skripsi. 


Di sini banyak mahasiswa yang mungkin juga sedang menyiapkan skripsi seperti kami karena beberapa di antara yang aku tahu menjadi teman sekelasku.


Entah menghabiskan waktu berapa lama aku berkeliling di sini, nyatanya ketenangan di sini mampu membuatku rileks tanpa gangguan. 


Ketika aku mengambil sebuah buku di hadapanku, ternyata di seberang rak buku terlihat ada seseorang yang juga mengambil buku. Dari sela buku yang aku ambil terlihat wajahnya. Friska? Benarkah itu dia? Atau aku yang terlalu merindukan dia? Atau aku sudah mulai gila hingga suaranya pun terdengar jelas sekali memanggil namaku?

"Agh!" Kupukul kepalaku beberapa kali. Mungkinkah aku segila itu padanya?


"Zuhayr." Suara itu terdengar lagi. 


Parah! Aku benar-benar gila kali ini. Namun, otakku menggerakan badan untuk terus mencari suara itu. Ke kiri dan ke kanan.


"Zu, aku di sini. Kau mencariku?" Kali ini suara itu terdengar persis di belakangku.


Aku membalikkan badan menghadap si pemilik suara. Di depanku kini berdiri sesosok gadis manis yang sejak lama kurindukan dan terus saja mengisi bayangan banyak tempat di sekitarku. Namun, sekarang dia di depanku. Apakah itu benar dia? Bagaimana kalau hanya haluku belaka? Dan yang di depanku ini orang lain? 


"Zu, kau diam saja? Ada apa?" Dia berkata lagi.


"Kau siapa?" tanyaku ragu.


"Aku Friska. Apa kau sudah benar-benar melupakanku?" 


"Friska? Coba cubit aku agar aku percaya ini benar-benar kamu," jawabku sambil terus menatapnya lekat.


Tangannya mengulur dan mencubit pipiku dengan cukup keras. Ya, ternyata mataku kali ini tidak salah. Gadis di hadapanku kali ini memang benar-benar Friska.


Tanpa berpikir apa pun, aku langsung memeluk sosok yang terus kurindukan selama ribuan jam terakhir. "Aku merindukanmu, bahkan sampai aku nggak bisa bedain antara bayangan dan sosok aslimu, Friska."


Gadis ini masih diam, tanpa ada suara yang keluar dari bibirnya yang seksi. Tangannya juga masih di tempatnya belum ada pergerakan ingin membalasa sebuah pelukan dari mantan kekasihnya ini.


"Aku juga merindukanmu." 


Hanya itu yang dia ucapkan. Namun, di dadaku terasa ada tetesan air yang mengalir. Entah apa. Aku belum ingin melihatnya. Aku masih ingin mendekap gadis yang telah sekalian lama kurindukan.


"Zu ...." Suaranya terdengar lagi. Parau kali ini.


"Ya," jawabku singkat.


"Apa kamu nggak mau lepasin aku? Nggak enak sama orang." 


Benar juga. Ini di perpustakaan, pasti tidak pantas jika berpelukan terlalu lama. Akhirnya aku memilih untuk mengurai pelukan ini.


"Maaf. Aku kebawa suasana," ucapku setelah mengurai pelukan. Di sudut mata Friska terlihat sedikit ada bulir bening seperti air mata. "Kamu nangis?"


"Aku rindu." Dia melangkahkan kakinya menuju ke sebuah kursi dan meja yang disediakan di sini. Aku mengikuti dan duduk persis di depannya, meski kami berdua terhalang meja.


Dia membuka buku yang sejak tadi dia pegang. Aku pun sama, demi menyamarkan obrolan kami.


"Ke mana saja kamu selama ini?" Ucapannya memang seolah sangat merindukanku dan terus saya mencariku selama ada beberapa bulan terakhir.


"Katanya kamu masih mau jadi temanku, nyatanya kamu pergi menjauh," lanjutnya.


"Nyatanya bersamamu, tapi nggak bisa bersatu itu makin bikin merasakan sakit, Friska."


"Tapi tanpaku apa kamu nggak merasa rindu?" katanya lagi sambil membalik halaman buku di depannya.


"Nggak. Tapi apa? Kau datang di setiap tidurku, bayangmu juga ada di setiap aku melihat. Kau tau kan bahkan wajah aslimu saja kupikir bayangan karena terlalu sering aku melihatmu dalam bayangan, Friska." Aku menunduk, sesekali memandang wajahnya yang sendu.


Harapan di dalam hati ini berkembang lagi melihat raut wajahnya yang seperti sangat merindukanku. 


"Sama," singkatnya.


"Mungkin kita memang harus tetap bersama, Friska. Meskipun luka, setidaknya kita menghadapi semuanya bersama." Kini aku menatapnya terus hingga dia mendongak dan tatapan kami bertemu.


"Nggak bisa, Zuhayr." 


"Kenapa? Aku bisa berjuang lagi demi mendapatkan restu kakekmu. Aku janji, Friska." Aku bersikeras untuk meyakinkan dia lagi. Nyatanya aku memang segila itu pada Friska. Bahkan setelah memeluknya tadi, aku merasa separuh jiwaku yang tadinya hilang, kini kembali dalam pelukan raga.


"Bukan itu masalahnya." Dia kini menunduk lagi.


"Lalu apa?" 


Dia terus menunduk, bahkan aku lihat bulir bening itu mengalir lagi dari sudut matanya dan tetap diam. Dia membiarkan pertanyaanku menggantung begitu saja tanpa adanya niat memberikan sebuah kata sebagai jawaban.


Masih dalam keheningan yang menyelimuti, ada seorang yang mendekati kami dan berdiri tepat di sebelah kananku.


"Ternyata kamu di sini, Friska?"


Posting Komentar