Berbeda Bukan Berarti Tak Bisa Bersama

Daftar Isi

Gadis itu mulai membuka pintu dan menyapaku, "Hai, Hayr!"


"Hai, Friska! Duduk," balasku juga mulai menyapanya.


Friska pun duduk di depanku dan bertanya lagi. "Udah lama, Hayr?" 


"Belum kok, baru bentar," jawabku santai.

Berbeda Bukan Berarti Tak Bisa Bersama

"Oh iya, kamu mau ngomong apa emangnya?" Dia bertanya lagi dan seolah sudah tidak sabar ingin mendengarkan apa yang aku bicarakan nantinya.


"Santai aja dulu, kita minum dulu, makan dulu. Emang kenapa sih buru-buru amat kelihatannya?"


"Bukan buru-buru sih, lebih tepatnya penasaran aja apa yang bakal dibicarakan seorang Zuhayr."


"Ya Allah. Ada-ada aja. Nanti juga tau. Makan duku kita."


Akhirnya kami pun pesan makanan di sini, tidak lupa juga dengan minumannya. Sembari menunggu makanan datang kami pun mengobrol hal-hal yang tidak terlalu penting. Sesekali dia pun bercanda dan menampakkan senyumnya yang manis.


Ketika waiters menghidangkan makanan dan minuman kami, kami pun langsung menyantapnya karena memang sudah kelaparan sejak tadi.


"Kamu mau nggak kalau hubungan kita menginjak ke jenjang yang lebih serius lagi?" tanyaku padanya di tengah-tengah kami makan siang.


"Uhuk!" Friska tersedak. "Apa kau bilang?" Kemudian dia mengambil air minum yang ada di depannya, es jeruk lebih tepatnya.


Aku pun mengulangi ucapanku tadi, meskipun aku tahu jika ucapan itu sudah teramat sangat jelas. "Ya, aku mau hubungan kita lebih serius lagi."


"Memangnya selama ini aku kelihatan bercanda, yah?" tanya Friska yang terlihat serius.


Dengan terbata-bata, aku pun menjawab lagi. "Ya maksudku ... selama ini kan kita temenan, aku pengen lebih dari itu."


"Zuhayr ... coba ngomong ya jelas. Langsung to the point. Jangan bertele-tele gitu ah." Dia lalu mulai menyuapkan makanannya lagi.


Ah, dia ini. Emang nggak peka atau pura-pura nggak tau sih sebenarnya. 


"Aku mau, kamu jadi pacarku," ucapku cepat.


Dia yang sedang makan, langsung memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan. 


Duh, jantungku langsung berdebar hebat. Takut, jika dia menolak, atau bahkan menertawakan ucapanku ini.


"Zuhayr emang beda, ya?" Tanggapan yang di luar dugaan. Tentu saja, dia bukan menerima atau menolak, tapi malah mengomentari diriku.


"Maksudnya bagaimana?" tanyaku mencoba memecah rasa penasaran yang sejak tadi menguasai.


"Kalau orang lain yang nembak itu bilangnya kamu mau nggak jadi pacarku? Kalau Zuhayr, kaya ada sedikit maksa," katanya sambil tersenyum.


"Eh, bukan gitu. Aku nggak maksa kok. Kamu nggak mau jadi pacarku ya?" Aku sedikit bingung dengan gadis ini. 


"Emangnya aku bilang gitu?" Pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan juga. Aduh, gemesin banget sih.


"Berarti kamu mau?" Aku memastikan lagi, tentu aku nggak mau kegeeran dulu sebelum ada jawaban iya darinya.


Gadis di depanku ini menghentikan makannya. "Aku sebenarnya menunggu momen ini sejak lama, Zuhayr, tapi kamu yang kelamaan nggak mau bilang. Aku juga suka sama kamu, nyaman sama kamu, tapi kamunya lama. Untung akunya sabar. Coba kalau enggak."


Mendengar ucapannya itu, aku sontak membulatkan mata karena sedikit tidak percaya. "Benarkah?"


Pertanyaanku hanya dijawab dengan anggukan yang kemudian dia melanjutkan makannya.


"Jadi kamu mau jadi pacarku?" tanyaku lagi.


"Aku sih, mau aja jadi pacar kamu, Hayr. Makanya aku nunggu kamu," jawabnya sambil tersenyum manis.


"Alhamdulillah, kalau gitu. Jadi kita resmi pacaran ya?" tanyaku memastikan agar tidak ada kesalahpahaman nantinya.


"Iya, tapi ...." Gadis di depanku ini malah menggantungkan ucapannya membuatku ingin segera mengetahui apa yang hendak dia katakan.


"Tapi kenapa?" sahutku cepat.


"Aku non muslim," ujarnya sembari menunduk.


"Lelaki muslim boleh menikahi perempuan non muslim. Aku nggak masalah tentang hal itu, asalkan kamu masih memperbolehkanku untuk tetap mengimani Tuhan dan Rasulku." 


"Dan aku pun berharap kamu juga begitu. Tapi aku sebenarnya juga udah tertarik sama Islam sejak lama, aku juga pengen belajar Islam lebih dalam lagi, meskipun untuk saat ini aku masih belum ada kepikiran mau login," akunya, kemudian dia tersenyum lagi.


"Iya, aku nggak bakal maksa kamu, kok." Aku juga mencoba mengerti tentang ini. Selama masih bisa bersatu, perbedaan bukanlah hal yang besar. Justru perbedaan ini yang akan makin mengeratkan hubungan kita nantinya.


"Iya, makasih ya udah mau ngertiin aku."


Setelah pembicaraan panjang tersebut, kami berdua pun memilih untuk menyudahinya. Lagipula nanti juga akan bertemu dengan titik di mana aku dan dia bisa berdamai dengan keadaan atau menyatu dalam sebuah keimanan.


Sebuah kebahagiaan yang teramat sangat hari ini. Syukur pun tak jua berhenti aku panjatkan pada Tuhan, apalagi ketika mengetahui jika gadis yang aku sukai itu juga menyukaiku, ditambah dia ingin belajar tentang Allah dan agamaku.


Kini, aku sudah kembali berada di indekos dan duduk lesehan di terasnya sembari memandangi foto kami berdua tadi. Ya, kami memang menyempatkan untuk foto berdua untuk pertama kalinya sejak pertemuan kami waktu itu. Tiga semester telah berlalu dan Friska kini sudah menjadi kekasihku. Sekarang aku hanya tinggal memastikan keluarganya mengizinkan sembari menunggu kami berdua lulus kuliah bersama.


"Hei, bro! Ngelamun terus, kesambet baru tau rasa!" Tiba-tiba temanku yang namanya Herman sudah ada di sebelahku. Entah kapan dia datang, tiba-tiba muncul kayak setan aja.


"Ga ngelamun. Aku cuma lagi seneng aja sih," jawabku sambil tersenyum.


"Seneng kenapa? Abis menang lotre?" Dia terlihat makin penasaran. Buktinya kini dia langsung duduk di sebelahku.


"Ini sih lebih dari menang lotre. Aku menangin hatinya Friska."


"Weh, beneran?!"


"Iya beneran. Baru aja aku jadian sama dia," jawabku sambil memandang ke arah depan dengan semringah.


"Yang baru jadian, boleh kali traktir sahabatmu yang satu ini." Kali ini lelaki berambut gimbal di sampingku mulai menggelayuti lengan. Ah, risi sekali.


"Ya udah, iya. Kamu mau makan apa?" Akhirnya aku mengalah padanya daripada harus dihantui sama dia.


"Apa aja deh, seikhlasnya kamu aja," jawabnya lagi.


Bagus deh, ternyata dia pengertian juga. Kukira bakal minta yang aneh-aneh. 


"Ya udah, deh nanti makan di warung makan depan aja ya, lagi nggak ada duit banyak."


"Oke, aku balik dulu, nanti malam kutunggu di warung depan," jawabnya kemudian berlalu begitu saja.


Ya, memang begitu adanya makhluk hidup bernama Herman. Meskipun begitu, dia adalah temanku yang paling baik.


Sementara aku sendiri masih ingin menyandarkan diri di tembok indekos sembari memandangi langit biru yang indah di atas sana. 


Sebuah harapan besar tersirat dalam kesendirian, semoga kesungguhan Friska direstui oleh yang Maha Kuasa, juga oleh kedua orang tuanya. 


Sehingga nanti kami bisa bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan dengan Tuhan dan keimanan yang sama.


Posting Komentar