Part 1 CEMBURU
Langkah kaki terdengar kuat seperti seseorang yang memilikinya yang begitu terlihat tegas dan berwibawa. Langkah itu mendekat ke sebuah ruangan di mana banyak anak-anak di dalamnya, dan seorang perempuan tinggi semampai berparas cantik berdiri di depan anak-anak itu.
“Assalaamualaikum, permisi, Bu. Saya ada perlu dengan beberapa siswa Anda,” kata seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruang kelas itu.
“Waalaikumsalam, silakan, Pak,” jawab perempuan itu dengan senyum yang sangat ramah.
Lantas sang lelaki itu pun mengucapkan apa yang dia maksud dan membawa beberapa anak bersamanya. “Terima kasih, Bu,” katanya.
“Sama-sama.” Lelaki itu berlalu begitu saja, sang perempuan pun kembali dengan aktivitasnya; mengajar.
Namun, tak lama setelah lelaki itu keluar, sang perempuan menyusul karena memang jam pelajarannya telah usai. Perempuan itu berjalan dengan anggunnya menuju ke dapur sekolah dan berniat membuat kopi karena matanya mulai mengantuk.
“Ris, mau ngopi?” tanya lelaki yang sama dengan yang tadi menemuinya saat di kelas tadi.
“Ya elah pakai nanya, ya jelas mau,” jawab perempuan yang ternyata namanya Riris.
Lelaki tadi langsung membuatkannya, meskipun itu bukan pekerjaannya, tetapi sebagai sahabat yang baik, tentu dengan sukarela dia lakukan.
Ketika mereka berdua sedang menikmati kopi mereka, dering ponsel milik Riris terdengar jelas dan langsung saja diangkat oleh si empunya ponsel.
“Halo, Sayang,” kata Riris begitu ponsel menempel di telinganya.
“Halo, kamu lagi di mana?” tanya seseorang di seberang ponsel yang dipanggil sayang oleh Riris.
“Lagi ngopi nih, di sekolah. Kamu lagi apa, Sayang?” kata Riris lagi.
Sementara lelaki yang sejak tadi di sampingnya hanya diam dan pura-pura tidak mendengar apa pun.
“Sama Fadil?” tanya seseorang di seberang sana.
“Iya,” jawab Riris singkat. “Emangnya kenapa sih, Sayang?” lanjutnya manja.
“Padahal yang pacarmu tuh aku, tapi yang sering sama kamu malah Fadil,” keluh seorang lelaki di seberang sana.
“Jadi kamu cemburu sama Fadil? Dia itu sahabatku, nggak lebih, sayang,” kata Riris mencoba menjelaskan.
“Meskipun dia sahabatmu, tetap saja dia cowok,” sarkas sang lelaki.
Merasa namanya disebut dan disandingkan dengan kata cemburu membuat lelaki bernama Fadil tadi berpamitan tanpa bersuara, dia hanya menyenggol lengan Riris dan memberi isyarat jika dirinya akan pergi. Karena dia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang lelaki di ujung panggilan rasakan yaitu cemburu.
“Iya, dia udah pergi kok,” ucap sang perempuan yang kemudian menyeruput kopi yang tadi dibuatkan oleh Fadil.
“Ya udah, nanti siang aku ada meeting dekat sekolah, selesai meeting kita ketemu, yah,” kata lelaki itu.
“Oke sayang.”
Setelah itu panggilan pun ditutup secara sepihak oleh lelaki di ujung telepon.
Riris sendiri membawa cangkir kopinya ke ruangan. Ketika baru saja keluar dari dapur sekolah, dia bertemu lagi dengan Fadil, dan bertanya, “Tadi kenapa pergi? Padahal nggak apa-apa.”
“Nggak apa-apa buatmu, tapi aku nggak mau bikin Dani cemburu,” katanya.
“Makasih udah ngertiin aku, ya,” balas Riris sambil tersenyum, kemudian ia berlalu.
‘Tapi kamu nggak pernah sedikit pun ngertiin aku, Ris,’ batin Fadil sendu.
Mungkin memang benar jika ada dua orang yang bersahabat salah satunya akan menaruh rasa lebih, seperti apa yang Fadil rasakan saat ini. Sementara Riris tidak merasakannya sama sekali.*
Hijab coklat Riris membingkai wajahnya, matanya yang gelap bersinar penuh semangat. Ia berjalan dengan anggun menuju kafe, matanya mengamati jalanan sebelum masuk. Ketika ia melangkah masuk, ia melihat Dani sedang duduk di kursi dengan santainya, rambut hitam lelaki itu berantakan dan tatapannya tertuju pada pintu, menunggu kedatangan Riris, sang kekasih.
Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara kafe yang nyaman, bercam
pur dengan aroma manis kue-kue dan sedikit aroma cologne Dani. Riris juga bisa mencium aroma kopi hitam yang pahit dan kuat dari cangkir Dani.
Riris mengulurkan tangan untuk menyalami Dani, jari-jari mereka saling bertautan sambil terus tersenyum satu sama lain. Dia bisa merasakan kehangatan tangan Dani
.
Tangan Riris terasa hangat dan nyaman di tangan Dani, jari-jari mereka saling bertautan dengan mudah.
“Kamu udah lama yah, nunggunya?” tanya Riris pada sang kekasih.
“Enggak juga sih, tadi aku baru selesai meeting. Duduk, yang,” kata Dani.
“Iya, Sayang.”
“Aku udah pesenin steak kesukaanmu, kamu belum makan, kan?” tanya Dani antusias.
Riris diam sejenak kemudian mengulurkan tangan dan meraba permukaan meja yang halus dan dipoles terasa sejuk di bawah telapak tangan mereka saat mereka mencondongkan tubuh ke depan untuk berbagi momen bersama.
Sebenarnya dia sudah makan bekal bersama dengan Fadil, tetapi dia tidak kuasa mengakuinya karena tidak ingin membuat Dani cemburu karenanya. Akhirnya Riris mengangguk, kemudian dia berkata, “Iya, sayang. Aku suka banget kebetulan aku laper.”
Riris yang duduk duduk di seberang meja dari Dani. Mereka bertatapan dan senyum mereka melebar, percikan kegembiraan dan hubungan yang terjalin di antara mereka. Mata Dani berbinar saat membalas senyuman itu, tatapannya penuh dengan kekaguman dan cinta.
“Bagus deh, aku juga laper sejak tadi cuma makan dessert ajah sama klien,” balas Dani.
Jari-jari lentik Riris bertautan dengan jari-jari kekar Dani di seberang meja. Ibu jari Dani mengelus punggung tangan sang kekasih dengan pelan dan penuh kasih sayang. Senyum mereka terlihat tulus dan hangat saat mereka saling menatap satu sama lain.
“Maafin aku yang tadi, ya,” kata Dani sambil tersenyum manis.
“Maaf untuk apa?” Riris balik bertanya kepada sang kekasih.
“Aku udah ketus sama kamu, soalnya aku cemburu, masa Fadil yang lebih sering deket kamu, padahal yang pacarmu kan aku,” kata Dani dengan manja.
“Iya, aku juga minta maaf ya,” jawab Riris yang juga merasa bersalah.
Permasalahan yang tadi hampir membuat mereka berdua bersih tegang kini sudah mencair kembali karena keluasan hati Dani yang mau meminta maaf terlebih dahulu. Karena lelaki itu tau meskipun dia benar juga tidak akan terlihat benar, tetapi ketika dia mengalah maka Riris juga akan merasakan hal yang sama.
Ketika keduanya berada dalam tatapan yang saling menguatkan dan mencintai, waiters datang dan membawa makanan yang sudah Dani pesan sebelumnya hingga membuat keduanya melepaskan pegangan tangan satu sama lain.
Mereka pun makan dengan lahap dan menikmati sekali apa yang ada di depannya.
Di sela-sela makan mereka berdua, Dani membuka percakapan. “Sayang, sebenarnya aku pengin ngomong sesuatu sama kamu,” katanya.
Riris yang tadinya menunduk karena sedang makan, seketika mendongak dan menatap ke arah Dani. “Kan dari tadi udah ngomong,” jawab Riris.
“Iya, tapi ini agak penting,” jawab Dani lagi.
“Apa itu, Sayang?”
Posting Komentar